ILMU MUNASABAH FI AL-QUR’AN
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Studi Qur’an
Dosen Pengampu :
Dr. H. Ahmad Subakir, M. Ag.
Disusun oleh :
PUGUH ARI WICAKSONO
923.005.18.010
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalam Allah. yang sekaligus merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Muhammad Saw. yang sampai kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung dari Rasul kepada umatnya), yang kemudian termaktub dalam mushaf. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala aspeknya. Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-Qur’an, kehidupan pemikiran dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (munasabah) ini berawal dari kenyataan bahwa sistimatikan al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan pada kronologis turunnya, itulah sebabnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama salaf tentang urutan surat dalam al-Qur’an. Pendapat pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi. Golongan kedua berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad. Kehadiran al-Qur’an dan misi risalah Rasulullah Saw selalu mengudang perhatian berbagai pihak untuk mengadakan studi. Aspek kajiannya terus berkembang baik dari aspek ilmiah maupun aspek non ilmiah. Hal ini barangkali dikarenakan oleh mu’jizat al-Qur’an. Keajaiban al-Qur’an seperti air laut tak pernah kering untuk ditimba. Ia lalu memeberikan inspirasi kepada manusia tanpa habis-habisnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari pengertian di atas, terdapat beberapa rumusan masalah :
1. Apa pengertian munasabah fi Al-Qur’an ?
2. Apa macam-macam munasabah fi Al-Qur’an ?
3. Apa macam – macam sifat munasabah fi Al-Qur’an ?
4. Apa macam-macam materi munasabah fi Al-Qur’an ?
5. Bagaimana faedah ilmu munasabah fi Al-Qur’an?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Munasabah fi Al-qur’an
2. Untuk mengetahui macam-macam Munasabah fi Al-qur’an
3. Untuk mengetahui macam-macam sifat Munasabah fi Al-qur’an
4. Untuk mengetahui materi Munasabah fi Al-qur’an
5. Untuk mengetahui faedah ilmu Munasabah fi Al-qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Munasabah fi Al-qur’an
Secara harfiah, kata munasabah berasal dari kata ناسب – يناسب - مناسبة yang berarti berarti perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaian, kecocokan, dan kepantasan. Kata al-munasabah, adalah sinonim (muradif) dengan kata al-muqarabah dan al-musyakalah, yang masing-msing berarti berdekatan dan persamaan. Adapun yang dimaksud munasabah dalam terminology ahli-ahli ilmu Al-Qur’an sesuai dengan pengertian harfiahnya diatas ialah segi-segi hubungan atau persesuaian al-qur’an antara bagian demi bagian dalam berbagai bentuknya. Yang dimaksud dengan segi hubunganya atau persesuaian adalah semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna yang mempertalikan satu bagian demi bagian yang lain. Karena itu, sebagian pengarang menamakan ilmu ini dengan”ilmu tanasubil ayati was suwari.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat menurut ulama:
1. Az-Zarkaysi:
Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2. Manna’ Al-Qaththan:
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antarayat pada beberapa ayat, atau antarsurat (di dalam Al-Qur’an).
3. Ibn Al ‘Arabi:
Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al- Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai ke-satuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupkan ilmu yang sangat agung.
4. Al-Biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat.
Jadi, dalam konteks Studi Qur’an, munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antarayat atau antarsurat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali); atau korelasi berupa sebab-akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan dan perlawanan.
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Al-Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam.
2.2 Sejarah Perkembangan Pengetahuan Munasabah
Setidaknya ada tiga alasan lahirnya ilmu munasabah. Pertama, munasabah terlahir didasari dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan fakta kronologis turunnya. Itulah sebabnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama salaf tentang urutan surat (tertib surat) di dalam Al-Qur’an. Pendapat pertama menyatakan bahwa tertib surat merupakan tauqifi; pendapat kedua, ijtihad; dan ketiga, tauqifi kecuali surat tertentu yang ijtihadi.
Kedua, selain dari sebab dari perbedaan pendapat tersebut di atas, metode munasabah ayat secara praktis memang diperlukan bagi upaya penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat. Hal ini dimungkinkan mengingat;
1) Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam waktu yang relatif lama dengan kondisi dan latar belakang yang berbeda;
2) uslub (gaya bahasa) Al-Qur’an yang sangat tinggi dan indah, sehingga tidak terlalu mudah bag ipara mufassir untuk mengetahui makna yang sebenarnya dari satu ayat; dan
3) bentuk lafazh atau teks Al-Qur’an memiliki banyak karakteristik yang tidak mudah untuk dapat secara langsung dipahami, seperti lafazh-lafazh ‘am, khash, mutlaq, muqayyad, mujmal, musykil, khafi, muhkam, mutasyabih dan yang lainnya.
Ketiga, selain dari kedua masalah tersebut di atas, perlu diingat pula bahwa sifat-sifat Al-Qur’an, rutbahnya, dan maksud-maksudnya, dimana nilai petunjuk Al-Qur’an dapat berjalan terus untuk sepanjang masa. Untuk kepentingan hal ini, rasanya tidak mungkin tafsir-tafsir klasik mampu menjawab kebutuhan zaman dewasa ini, yang dinamikanya sangat tinggi. Oleh karenanya, munasabah ayat merupakan metode yang logis dan wajar di zamannya.
Tercatat dalam sejarah bahwa Imam Abu Bakar al-Naisaburi (wafat 324 H) sebagai orang pertama melahirkan ilmu munasabah di Bagdad. Syekh ‘Izzudin ibn ‘Abd al-Salam (w 660 H) menilai munasabah sebagai ilmu yang baik. Menurut al-Suyuti (w. 911 H), orang pertama yang melahirkan ilmu munasabah adalah Syekh Abu Bakar al-Nasaiburi. Apabila Al-Qur’an dibacakan kepadanya, ia bertanya mengapa ayat ini ditempatkan di samping ayat sebelumnya dan apa hikmah surat ini ditempatkan di samping surat sebelahnya.
Abu Ja’far ibn al-Zubair Abi Hayyan secara khusus menyusun sebuah kitab mengenai munasabah ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an dengan judul, Al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar Al-Qur’an. Kemudian, Syekh Burhan al-Din Al-Biqa’i menyusun kitan dalam bidang yang sama dengan judul Nuzum al-Durar fi Tanasub al-Ayi wa al-Suwar.
Menurut Asy Syarahbani, seperti dikutip Az Zarkasyi dalam Al Burhan, orang pertama yang menampakkan munasabaah dalam menafsirkan Al-Qur’an ialah Abu Nakar An Naisaburi (wafat tahun 342 H). Besarnya perhatian An Naisaburi terhadap munasabah nampak dari ungkapan As Suyuti sebagai berikut : “Setiap kali ia duduk di atas kursi, apabila dibacakan Al-Qur’an kepadanya, beliau berkata, “Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini dan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini?” Beliau mengkritik para ulama Baghdad sebab mereka tidak mengetahui.”
Tindakan An Naisabur merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuian, baik antarayat ataupun antarsurat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang dicetuskan beliau. Satu hal yang jelas, beliau di pandang sebagai Bapak Ilmu Munasabah.
Tokoh yang mula-mula membicarakan tentang ilmu ini ialah al-Imam Abu Bakr an-Naisaburi (meninggal 323H). Selain beliau terdapat banyak lagi ulama yang membahas. Antara lain:
1. Al-Imam al-Biqa‘ie - Nazm ad-Durar fi Tanasub al-Ayi was Suwar
2. Al-Imam as-Suyuti – Tanasuq ad-Durar wa Tanasub as-Suwar
3. Al-Imam al-Farahi al-Hindi – Dala’il an-Nizam
Selain mereka para ulama seperti az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Baidhawi, Abu Hayyan, al-Alusi, Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, Dr. Muhammad Abdullah Darraz dan lain-lain turut menyentuh tentang ilmu ini dan mempraktikkannya dalam penulisan kitab-kitab tafsir mereka.
Sungguhpun begitu, ilmu ini bukanlah disepakati kewujudannya atau diterima oleh semua ulama, mereka yang kontra mewajibkan syarat yang ketat untuk ilmu ini ialah: ‘Izzudin Bin Abdis Salam, as-Syaukani, as-Syinqiti dan sebagainya. Mereka ini berhujah bahwa ilmu al-Munasabah ini adalah takalluf (beban) dan ia tidak dituntut oleh syara’.
2.3 Macam – macam Munasabah fi Al-qur’an
Dilihat dari berbagai seginya. menurut Nashr Hamid Abu Zaid hubungan (munasabah) Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu
1. Munasabah antar surat
Dalam hal ini Nashr Hamid telah membagi sedikitnya 4 bagian:
a. Hubungan stilistika-kebahasaan.Contohnya adalah hubungan khusus antara surat al-fatihah dengan surat al-baqarah. Termasuk dalam kategori ini adalah munasabah antar surat pendek. Hubungan antara surat al-fiil dengan surat al-Quraisy adalah hubungan kebahasaan yang mengubah keduanya menjadi 1 surat apabila kita menerima pandangan ulama klasik terhadap kedua surat tersebut.
b. Hubungan antara “dalil” dengan “keraguan akan dalil” atau disebut juga dengan hubungan ta’wil. Contohnya adalah hubungan antar surat al-Baqarah dengan surat Ali Imron. Urutan surat dalam mushaf didasarkan pada asas yang didasarkan pada asas mendahulukan yang universal yang dibentuk oleh surat al-Fatihah kemudian surat al-Baqarah yang bertugas menjelaskan hukum-hukum dan secara khusus surat ali Imron memuat jawaban atas keragu-raguan musuh akan hukum-hukum tersebut. Surat An-Nisa dan al-Maidah memiliki kedudukan sebagai perincian legislasi bagi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hubungan sosial dan ekonomi, kemudian dua surat berikutnya yaitu al A’raf menjelaskan tujuan tujuan dan sasaran-sasaran syari’at dari rincian hukum tersebut
c. Hubungan ritmik yang didasarkan pada ritme “fashilah”. Contohnya adalah hubungan antara surat al-Lahab dengan surat al-Ikhlas.
d. Hubungan antar surat pendek adalah hubungan kekontrasan, yaitu tipe yang dapat ditemukan antar surat al-Maun dengan surat al-Kautsar disatu sisi dan antara surat ad-Duha dan al-Syarh disisi lain.
2. Munasabah antar ayat
Pada dasarnya, konsep kesatuan teks (wihdah al-nash) merupakan konsep yang merujuk pada persoalan I’jaz, yaitu sebuah persoalan yang dalam skala besar mengacu kepada perbedaan antara pembicara teks (Allah) dengan pembicara- pembicara selain-Nya. Oleh karena itu, para penganjur ilmu munasabah menghindari pembicaraan tentang munasabah antar ayat, yang aspek keterkaitan antar ayatnya sangat jelas, seperti:”Apabila yangt kedua terhadap yang pertama merupakan bentuk penegasan, penafsiran, atau bantahan dan tekanan”.
Dalam hal ini munasabah tidak mengkaji hubungan-hubungan eksternal (alaqah khorijiah), dan tidak pula berdasarkan pada bukti-bukti diluar teks (kharij al-Nas). Tekslah yang menegaskan norma-norma hubungan-hubunganya atas dasar strukturnya yang berifat kebahasaan, rasional dan indrawi. Ini tidak berarti bahwa hubungan-hubungan tersebut merupakan hubungan-hubungan objektif (maudhu’iyah) yang terpisah dari gerak akal pembaca atau mufasir, tetapi ia merupakan hubungan yangg muncul dari dealekstika antara pembaca dan teks dalam proses pembacaan.
2.4 Cara Mengetahui Munasabah
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Al-Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuti menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:
Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memerhatikan ungkapan –ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
Adapun cara lain untuk mengetahui Munasabah dalam al-Qur’an dapat dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut:
1. Mengetahui susunan kalimat dan maknanya.
Imam al-Suyuthi memberikan penjelasan bahwa harus ditemukan dahulu apakah ada huruf athaf yang mengaitkannya dan adakah satu bagian merupakan penguat, penjelas ataupun pengganti bagi bagian yang lainnya.Apabila terdapat sesuatu yang dirangkaikan maka di antara keduanya mempunyai sisi yang bersatu seperti firman Allah :
Artinya: Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun”. (QS. Saba’: 2)
Artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah, maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezki dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”( QS. Al-Baqarah: 245)
2. Mengetahui maudhu’ atau topik yang dibicarakan.
Subhi al-Shalih mengatakan, bahwa pada satu surat terdapat maudhu’ yang menonjol, keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian dalam ayat-ayat yang saling bersambungan dan berhubungan.Ukuran wajar atau tidaknya persesuaian ayat yang satu dengan yang lain, atau surat yang satu dengan surat yang lain, dapat diketahui dari tingkat kemiripan atau kesamaan maudhu’ itu. Jika persesuaian itu mengenai hal yang sama dan ayat-ayat yang terakhir suatu surat terdapat kaitan dengan ayat-ayat permulaan surat berikutnya, maka persesuaian yang demikian itu adalah masuk akal dan dapat diterima. Tetapi, apabila mengenai ayat-ayat atau surat-surat yang berbeda-beda sebab turunnya dan tentang hal-hal yang tidak sama, maka sudah tentu tidak ada munasabah antara ayat-ayat dan surat-surat itu.
3. Mengenai asbab al-Nuzul.
Yakni sebab-sebab turunnya ayat-ayat mengenai satu topik di dalam sebuah surat dengan topik yang sama pada surat yang lain. Kesamaan topik tersebut dapat dilihat dari latar belakang historis turunnya ayat.Melalui pengetahuan terhadap Asbab al-Nuzul ayat akhirnya dapat memberikan kontribusi dalam menemukan munasabah antara ayat dan antara surat dalam al-Qur’an.
2.5 Macam – Macam Sifat Munasabah dalam Al-Qur’an
Jika ditinjau dari segi sifat munasabah atau keadaan persesuaian dan persambungannya, maka munasabah itu ada dua macam, yaitu:
1) Persambungan yang nyata ( Dzaahirul Irtibath ) atau persambungan yang tampak jelas, yaitu yang persambungan antara bagian Al-Qur’an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat.
Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1 surah Al-Isra
Artinya:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
” Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidil aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Ayat tersebut menerangkan tentang isra’ Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya, ayat 2 surah Al-Isra tersebut yang berbunyi:
وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلا تَتَّخِذُوا
مِنْ دُونِي وَكِيلا
Artinya:
” Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israel (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku,”
Ayat tersebut menjelaskan tentang diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa as.
Persambungan antara kedua ayat tersebut ialah tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang Nabi/Rasul tersebut.
2) Persambungan yang tidak jelas (Khaffiyul Irtibath) atau samarnya persambungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dalam Al-Qur’an, sehingga tidak tampak adanya persambungan untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surah itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
Contohnya, seperti hubungan antara ayat 189 dengan ayat 190 surah Al-Baqarah. Ayat 189 Al-Baqarah berbunyi:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
” Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung..”
Ayat tersebut menerangkan bulan tsabit atau tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji.
Sedang ayat 190 surah Al-Baqarah berbunyi:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya:
” Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas..”
Ayat tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut seperti tidak ada hubungannya. Padahal sebenarnya ada hubungan antara kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 mengenai soal waktu untuk haji, sedang ayat 190 menerangkan bahwa sebenarnya, waktu haji itu, umat Islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.
2.6 Macam-macam Materi Munasabah
Dilihat dari segi materinya, maka munasabah itu ada dua macam, sebagai berikut:
2.6.1 Munasabah antar ayat yaitu munasabah antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Munasabah ini bisa berbenuk persambungan-persambungan, sebagai berikut:
1) Diathafkannya ayat yang satu kepada ayat yang lain. Faedah dari munasabah dengan athaf ini adalah untuk menjadikan dua ayat tersebut sebagai dua hal yang sama.
2). Tidak diathafkannya ayat yang satu kepada ayat yang lain. Dalam munasabah ini, tampak hubungan yang kuat antara ayat yang pertama dengan ayat yang kedua.
3). Digabungkannya dua hal yang sama. Seperti hubungan antara ayat 5 dengan ayat 4 surah Al-Anfal. Menerangkan kebenaran bahwa Nabi diperintah hijrah dan ayat 4 menerangkan kebenaran status mereka sebagai kaum mukminin
4) Dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi. Pada hubungan antara ayat 94 dengan ayat 95 surah Al-A’raf. Ayat 94 menerangkan ditimpakannya kesempitan dan penderitaan kepada penduduk, tapi ayat 95 menjelaskan kesusahan dan kesempitan itu diganti dengan kesenangan
5). Dialihkannya suatu pembicaraan. Pada hubungan antara surah Shaad ayat 55 dengan ayat 54. Dialihkannya pembicaraan kepada nasib orang-orang yang benar-benar akan kembali ke tempat yang buruk sekali, dan pembicaraan ayat 54 yang membicarakan rezeki dari para ahli surga.
2.3.2 Munasabah antar surah
yaitu munasabah antara surah yang satu dengan surah yang lain. Munasabah ini ada beberapa bentuk, sebagai berikut:
1) Munasabah antara dua surah dalam soal materinya, yaitu materi surah yang satu sama dengan materi surah yang lain.Contohnya, seperti surah kedua Al-Baqoroh sama dengan isi surah yang pertama Al-Fatihah, yakni sama-sama menerangkan 3 hal dalam kandungan Al-Qur’an, yaitu masalah akidah , ibadah, muamalah, kisah dan janji serta ancaman.
2) Persesuaian antara permulaan surah dengan penutupan surah sebelumnya.Contohnya, seperti awalan surat Al-An’am yang berbunyi:
Artinya: ”Segala puji bagi Alloh yang telah menciptakan langit dan bumi.”
Awalan surah Al-An’am tersebut sesuai dengan akhiran surah Al-Maidah yang berbunyi :
Artinya:
”Kepunyaan Alloh kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
3) Persesuaian antara pembukaan dan akhiran suatu surah. Sebab, semua ayat dari suatu surah dari awal sampai akhir itu selalu bersambungan dan bersesuaian.
Contohnya, seperti persesuaian antara awal surah Al-Mukminun: yang menjanjikan orang yang beriman itu akan bahagia, dengan akhiran surah tersebut: yang menegaskan bahwa orang-orang yang tidak beriman itu tidak akan bahagia.
2.7 Urgensi dan Kegunaan Munasabah
Pengetahuan antara Munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antara makna, kejelasan, keterangan, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasa.
Az-Zarkasyi menyebutkan: “Manfaatnya adalah menjadikan sebagian pembicaraan berkaitan dengan sebagian lainnya, sehingga hubungan menjadi kuat, bentuk susunannya menjadi kukuh dan bersesuaian bagian-bagiannya laksana sebuah bangunan yang amat kokoh.” Qadi Abu Bakar Ibnul al-‘Arabi menjelaskan: “Mengetahui sejauhmana hubungan antara ayat satu dengan yang lain sehingga semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan susunannya teratur merupakan ilmu besar.”
Pembahasan tentang tanasub ayat-ayat dalam surat-surat al-Qur’an terasa sangat penting, apalagi bagi mereka yang ingin mendalami makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dengan dikuasainya ilmu ini oleh seseorang maka dia akan merasakan secara mendalam bahwa al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh dalam untaian kata-kata yang harmonis dengan makna yang kokoh, tepat, dan akurat sehingga sedikit pun tak ada cacat. Keharmonisan itu tampak dan dirasakan pada semua ayat-ayat al-Qur’an di dalamnya mulai dari al-Fatihah sampai dengan surat al-Nas. Inilah yang ditegaskan Allah dalam ayat 23 dari al Zumar: (Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik beerupa kitab (Alqur’an) yang serupa-serupa dan berulang-ulang [ayat-ayatnya]...).
Dengan dikuasainya ilmu tanasub ini oleh seseorang, maka semakin terang baginya bahwa Alqur’an itu betul-betul kalam Allah, tidak hanya teksnya, melainkan susunan dan urutan ayat-ayat dan surat-suratnya pun atas petunjuk-Nya.
Pengetahuan tentang munasabah Al-Qur’an terutama bagi seorang mufassir sangat penting. Antara lain:
1. Membongkar makna yang tesirat dalam susunan dan urutan kalimah-kalimah, ayat-ayat, dan surah-surah Al-Qur’an sehingga bagian-bagian dari Al-Qur’an itu saling berhubungan dan tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan berkaitan satu sama lain. Ia dinamakan oleh Sayyid Qutb sebagai ‘al-wahdah al-madhu‘iyyah’ (kesatuan topik).
2. Memudahkan pemahaman Al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat al-Fatihah yang artinya, ‘tunjukanlah kami kepada jalan yang lurus’ disambung dengan ayat ketujuh yang artinya ‘yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat atas mereka. Antara kedua ayat tersebut terdapat hubungan penjelasan yaitu jalan yang lurus yang dimaksudkan adalah jalan orang-orang yang telah mendapatkan nikmat dari Allah SWT.
3. Mengukuhkan keyakinan akan kebenaran al-Quran sebagai wahyu Allah. Meskipun Al-Qur’an yang terdiri dari atas 6236 ayat diturunkan dan ditulis di tempat, keadaan dan peristiwa yang berbeda, selama dua puluh tahun lebih, namun dalam susunannya mengandung makna yang mendalam berupa hubungan yang kuat antara satu bagian dengan bagian yang lain.
4. Menolak tuduhan bahwa susunan al-Qur’an adalah tidak teratur. Contohnya surah al-Fatihah yang ditempatkan pada awal mushaf sehingga surah inilah yang pertama dibaca, sedangkan wahyu yang pertama diturunkan ialah lima ayat pertama surah al-Alaq. Nabi SAW menetapkan al Fatihah di awal mushaf disusul dengan surah al-Baqarah dan seterusnya. Setelah diteliti, ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surah al-Fatihah mengandung asas-asas syariat Islam dan pada surah ini ada doa manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surah al-Baqarah pula dimulai dengan petunjuk al-Kitab sebagai pedoman menuju jalan yang lurus. Oleh karena itu, surah al-Fatihah merupakan titik perbahasan yang akan diperinci pada surah-surah berikutnya seperti al-Baqarah. Dengan membuktikan munasabah tersebut, ternyata susunan ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an tidak asal-asalan atau tidak teratur, sebaliknya penyusunan itu mempunyai makna yang mendalam.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Munasabah ialah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antara ayat atau surah yang dapat diterima oleh akal.
Macam – macam ilmu Munasabah yaitu :
Macam – macam sifat ilmu Munasabah yaitu :
1) Persambungan yang nyata ( Dzaahirul Irtibath ) atau persambungan yang tampak jelas, yaitu yang persambungan antara bagian Al-Qur’an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat.
2) Persambungan yang tidak jelas ( Khaffiyul Irtibath ) atau samarnya persambungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dalam Al-Qur’an, sehingga tidak tampak adanya persambungan untuk keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surah itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu diathafkan kepada yang lain, atau karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Faedah ilmu munasabah yaitu Mengetahui persambungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain.
3.2 Saran
Dalam pembahasan kali ini penulis menyarankan kepada semua mahasiswa / mahasiswi yang membaca makalah ini untuk bisa memahami apa itu “ Ilmu Munasabah Fi Al-qur’an “. Mahasiswa juga diharapkan bisa berperan aktif dalam melakukan pembahasan masalah / tugas yang dihadapinya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Ahsin W, Kamus Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Amzah, 2005
Al-Qathan, Manna Khalil, Studi Ilmu Qur’an, Jakarta: pustaka Islamiyah, 1998
Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Ahsin Mohammad (penterjemah), Bandung : Penerbit Pustaka, 1995
Hasbi, Muhammad, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: Pustaka rizki Putra, 2002
Imad al-Din Abu al-Fida’ Islamil Ib Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut : Dar al-Fikr, 1966
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979, Juz I
Manna’ al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Riyadh : Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.th
Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’an : Qira’ah Muashirah, Kairo : Sina Publisher, cet. I
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LkiS, 2001
Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001
Saefuddin Buchori, Didin, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, Granada Sarana Pustaka, 2005
Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta : Forum Kajian Agama dan Budaya, 2001
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, Taufiq Adnan Amal (Penterjemah), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995
EmoticonEmoticon