LIVING SUNNAH : PROBLEMATIKA DAN PROSPEK PENGEMBANGAN KAJIAN HADITS MODERN
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Studi Hadits
yang dibina oleh Bapak Dr. Wahidul Anam
Oleh
Puguh Ari Wicaksono (92300518010)
Ahmad Mughni Khoiruddin (92200718001)
PROGRAM STUDI PBA DAN IAT
PROGRAM PASCARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya kata sunnah berbeda dengan hadits, walaupun kebanyakan ulama hadits berusaha mengidentikkannya. Apabila kita menyelidiki kata kully (global) bagi masing-masingnya, nyatalah bahwa keduanya tidak sama maknanya dari segala segi. Hadits adalah segala yang diceritakan (diberitakan) dari Rasulullah. Sunnah, baik diveritakan atauapun tidak, adalah sesuatu yang telah biasa dikerjakan oleh kaum Muslimin sejak dahulu.
Hadits sampai hari ini masih menyisakan berbagai problem yang harus dicarikan solusinya. Di antara problem yang mucul adalah aspek historis, otoritas, otentisitas, interpretasi, metodologi, menjawab tantangan zaman dengan ribuan problemnya dan lain sebagainya. Imbas dari problem tersebut melahirkan stigma bahwa hadits dilingkupi berbagai problem sehingga tidak sedikit umat Islam yang kemudian meragukan bahkan menolak hadits sebagai sumber pengambilan hukum (inkar al-sunnah), atau mengkambinghitamkan hadits sebagai penyebab mundurnya umat Islam.
Kehadiran hadits Nabi di setiap zaman dari peradaban manusia dituntut betul-betul mampu menjawab setiap permasalahan umat sebagai konsekuensi dialektis antara perkembangan zaman disatu sisi dengan tuntutan untuk tetap memperpegangi prinsip-prinsip agama di sisi yag lain. Dan bukan sebaliknya, hadits menjadi penghalang dari setiap kemajuan peradaban manusia, dengan menghakiminya sebagai bid’ah dhalalah, sumber perpecahan, kejumudan, dan kemunduran. Bahkan pada tataran praksis, hadits Nabi seringkali menjadi legalitas formal terhadap “penzaliman” dan “penindasan” suatu kalangan terhadap kalangan yang lain. Pada hal sebagai sumber ajara islam yang bersifat ilahiyah mestinya membawa kemaslahatan dan kerahmatan kepada semua umat dan bahkan kepada seluruh alam. Lalu kemudian istilah Living Sunnah sebagai salah satu konsep pengaplikasian hadits nabi yang dianggap sebagai salah satu konsep yang bisa mengikuti laju globalisai dan modernitas yang melanda umat islam pada zaman sekarang.
Berdasarkan sudut pandang teoretis dan realitas empirik yang dijelaskan di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul ”Living sunnah : Problematika dan prospek pengembangan kajian hadits modern”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan living sunnah? Lalu apa saja modelnya?
2. Bagaimana living sunnah bisa tumbuh dan berkembang di Nusantara?
3. Apa saja problematika pengembangan kajian hadits modern?
4. Apa saja prospek pengembangan kajian hadits modern?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep living sunnah dan model-modelnya.
2. Untuk mengetahui living sunnah tumbuh dan berkembang di Indonesia.
3. Untuk mengetahui problematika pengembangan kajian hadits modern .
4. Untuk mengetahui prospek pengembangan kajian hadits di era modern.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Living Sunnah
Istilah living sunnah atau biasa diartikan dengan “sunnah yang hidup” adalah istilah yang belakangan muncul pada akhir abad ke-20 di dalam dunia islam. Istilah ini diperkenalkan oleh seorang pemikir islam asal Pakistan yaitu Fazlur Rahman. Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1991 di tengah-tengah keluarga Malak yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India, kini merupakan bagian Pakistan. Ia wafat pada tanggal 26 Juli 1988 di Chicago, Illionis.
Pemikiran Fazlur Rahman tentang hadits dapat ditemukan dalam bukunya yang berjudul Islam dan Islamic Methodology in History. Hadits dalam pandangan Fazlur Rahman adalah verbal tradition sedangkan sunnah adalah practical tradition atau silent tradition. Di dalam hadits terdapat bagian-bagian terpenting yaitu sanad/rawi dan matan. Di dalam perjalanan selanjutnya, terdapat permasalahan berkenaan dengan bagian-bagian hadits tersebut. Nabi Muhammad saw. sebagai pembimbing umat manusia telah banyak memberi hadits dan setelah beliau mangkat, hadits tersebut dari informal menjadi sesuatu yang semi-formal.
Fazlur Rahman memberikan tesis bahwa istilah yang berkembang dalam kajian ini adalah sunnah dahulu baru kemudian menjadi istilah hadits. Hadits bersumber dan berkembang dalam tradisi Rasulullah saw. dan menyebar secara lus seiring dengan menyebarnya Islam. Teladan Nabi Muhammad saw. telah diaktualisasikan oleh sahabat dan tabi’in menjadi praktek keseharian mereka. Fazlur Rahman menyebutnya sebagai the living tradition atau Sunnah yang hidup.
Mengutip dari Ummu Farida, bahwa Fazlur Rahman membuat kategorisasi sunnah sebagai berikut: Kategori pertama, sunnah ideal yaitu sunnah (tradisi praktikal) dan hadits (tradisi verbal) yang muncul secara bersamaan dan memiliki substansi yang sama pula. Keduanya dinisbatkan dan diarahkan kepada Nabi dan memperoleh normatifitas dari beliau. Kategori kedua, living tradition, yang awalnya berupa sunnah ideal yang telah ditafsirkan sehingga menjadi praktek aktual masyarakat muslim. Sebagai praktek aktual dari masyarakat yang hidup, maka living tradition tersebut secara terus-menerus menjadi subyek modifikasi melalui tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan, karena perkembangan masyarakat yang semakin luas sehingga muncul berbagai persoalan yang membutuhkan solusi-solusi modifikatif. Kategori ketiga, kesimpulan yang dirumuskan dari kategori pertama dan kedua, berpijak dari hadits atau laporan sunnah beberapa pokok norma praktis dirumuskan melalui penafsiran. Norma-norma tersebut kemudian juga disebut sunnah karena secara implisit terlihat dalam sunnah tersebut.
Berbeda dengan pemikiran Fazlur Rahman, Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah artikel yang berjudul “Dari Sunnah ke Hadits atau sebaliknya?” dimuat dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995) mengemukakan sebaliknya. Ia tidak setuju tentang yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslimin adalah sunnah. Baginya, yang pertama kali adalah hadits. Tesis ini dibuktikan dengan data historis di mana ada sahabat yang menghafal dan menulis ucapan Nabi Muhammad saw. Dus, sejak awal, hadits memang sudah ada. Dari pemikiran Fazlur Rahman dan Jalaluddin Rakhmat tersebut dapat dikompromikan bahwa tradisi hadits dan sunnah sebenarnya terjadi bersamaan. Hadits yang Rahman menyebut sebagai tradisi verbal sudah ada sejak masa Rasulullah saw. Demikian juga sunnah ada dan terus menerus dijaga oleh generasi sesudah nabi setelah pemegang otoritas wafat. Sampai hal tersebut menjadi sebuah kenyataan dalam sejarah bahwa terdapat sejumlah pemalsuan hadits (tradisi verbal) untuk mengukuhkan pendirian mereka masing-masing. Fenomena ini ulama membuat epistemologi keilmuan hadits yang digunakan sebagai penelitian terhadap hadits. Banyak hadits yang tidak lolos dalam teori-teori yang yang diajukan ulama dan yang lolos hanya sedikit saja.
Tentunya, living hadits tidak dimaknai sama persis dengan pemikiran Fazlur Rahman di atas. Living hadits lebih didasarkan atas adanya tradisi yang hidup di masyarakat yang disandarkan kepada hadits. Penyandaran kepada hadits tersebut bisa saja dilakukan hanya terbatas di daerah tertentu saja dan atau lebih luas cakupan pelaksanaannya. Namun, prinsip adanya lokalitas wajah masing-masing bentuk praktik di masyarakat ada. Bentuk pembakuan tradisi menjadi suatu yang tertulis bukan menjadi alasan tidak adanya tradisi yang hidup yang didasarkan atas hadits. Kuantitas amalan-amalan umat Islam atas hadits tersebut nampak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Bentuk dari living sunnah antara lain :
1. Tradisi Tulis
Tradisi tulis menulis sangat penting dalam perkembangan living hadits. Tulis menulis tidak hanya sebatas sebagai bentuk ungkapan yang sering terpampang dalam tempat-tempat yang strategis seperti bus, masjid, sekolahan, pesantren, dan fasilitas umum lainnya. Ada juga tradisi yang kuat dalam khazanah khas Indonesia yang bersumber dari hadits Nabi Muhammad saw. sebagaimana terpampang dalam berbagai tempat tersebut.
Tidak semua yang terpampang bersal dari hadits Nabi Muhammad saw. atau di antaranya ada yang bukan hadits namun di masyarakat daianggap sebagai hadits. Seperti kebersihan itu sebagian dari iman (النظافة من الإيمان) yang bertujuan untuk menciptakan suasana kenyamanan dan kebersihan lingkungan, mencintai negara sebagaian dari iman (حب الوطن من الإيمان) yang bertujuan untuk membangkitkan nasionalisme dan sebagainya.
2. Tradisi Lisan
Tradisi lisan dalam living hadits sebenarnya muncul seiring dengan praktik yang dijalankan oleh umat Islam. terdapat pula tradisi yang berkembang di pesantren ketika bulan Ramadhan. Selama bulan yang penuh berkah tersebut, santri-santri dan masyarakat lain yang menginginkan berpartisipasi dalam pembacaan kitab hadits al-Bukhari. Istilah yang lazim digunakan adalah Bukharinan. Hadits-hadits yang teremuat dalam kitab Sahih al-Bukhari yang jumlahnya sebanyak empat jilid dibaca dan diberi arti dengan bahasa Jawa selama sebulan penuh. Bentuk semacam ini merupakan upaya pengisian bulan Ramadhan dengan amalan yang baik.
Nampak dari berbagai bentuk tradisi lesan di atas ada keterkaitan erat dengan masalah peribadatan atau bentuk-bentuk lain yang tujuannya untuk mencari pahala seperti yang terjadi praktik pembacaan Kitab Sahih al-Bukhari dalam bulan Ramadhan. Bentuk semacam ini senantiasa ada dan berkembang di masyarakat.
3. Tradisi Praktik
Tradisi praktek dalam living hadits ini cenderung banyak dilakukan oleh umat Islam. Hal ini didasarkan atas sosok Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan ajaran Islam. Contoh adalah masalah ziarah kubur bagi perempuan. Persoalan ziarah kubur merupakan suatu yang terus hidup di masyarakat, terutama di kalangan masyarakat Tradisional. Dalam masalah wanita pergi zaiarah kubur Maliki, sebagian ulama Hanafi memberikan keringanan. Sedangkan di antara ulama ada yang mnghukumi makruh bagi wanita yang kurang tabah dan emosional. Adanya laknat tersebut oleh al-Qurtubi dialamatkan kepada para wanita yang sering pergi ke makam dengan menghiraukan kewajibannya terhadap masalah rumah tangga, tugas-tugas keseharian dan sebagainya.
B. Living sunnah tumbuh di Nusantara
Islam sudah masuk ke Indonesia sejak pertengahan abad ke – 7 Masehi. Sedikitnya ada empat teori yang dihubungkan dengan proses islamisasi dan perkembangan Islam di Indonesia :
1. Islam disiarkan dari India,
2. Islam disiarkan dai Arab,
3. Islam disiarkan dari Persia,
4. Islam disarkan dari Cina.
Lewat para Wali Songo inilah Islam bisa tersebar hampir di seluruh Nusantara. Dalam perjalanan mengembangkan Islam di Nusantara, Wali songo menjalankan misi menghendaki perubahan secara sistematis dan terencana pada masyarakat Nusantara waktu itu, yang semula memeluk Agama Hindu dan Buddha, atau kepercayaan lain menjadi masuk Islam.
Dalam sebuah teori sosiologi, perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak - pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak – pihak yang menghendaki perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekolompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga – lembaga kemasyarakatan. Agent of change memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam melaksanakannya, agent of change langsung tersangkut dalam tekanan – tekanan untuk mengadakan perubahan – perubahan pada lembaga – lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan selalu di bawah pengendalian serta pengawasan agent of change tersebut. Asumsi penulis bahwa Wali Songo menggunakan teori tersebut untuk membentuk masyarakat Islam di Nusantara.
Dalam mengemban dakwah Islam, Wali Songo tidak serta merta memaksa penduduk lokal harus masuk Islam. Secara umum, dapat dikatakan bahwa proses masuknya Islam ke Nusantara yang ditandai awal hadirnya pedagang-pedagang Arab dan Persia pada abad ke-7 Masehi, terbukti mengalami kendala sampai masuk abad pertengahan abad ke-15. Ada rentang waktu sekitar delapan abad sejak kedatangan awal Islam, agama Islam belum dianut secara luas oleh penduduk pribumi Nusantara. Baru pada pertengahan abad ke-15, yaitu era dakwah Islam yang dipelopori tokoh-tokoh sufi yang dikenal dengan sebutan Wali Songo, para tokoh yang dikisahkan memiliki berbagai karomah adikodrati, Islam dengan cepat di serap ke dalam asimilasi dan sinkretisme Nusantara. Dengan dakwah menggunakan contoh yang baik atau suri tauladan, dan juga dakwah dalam segala aspek kehidupan seperti ekonomi, kesenian dan budaya lokal setempat, pendidikan, maka lambat laun masyarakat pribumi mulai banyak masuk Islam.
Para wali mengislamisasi nilai-nilai lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dengan kata lain meminjam istilah pada NU yakni melanjutkan tradisi yang baik mengambil hal baru yang lebih baik. Ditambah lagi, strategi para wali dalam mengembangkan ajaran Islam di bumi Nusantara dimulai dengan beberapa langkah strategis. Pertama, tadrij (bertahap). Tidak ada ajaran yang diberlakukan secara mendadak, semua melalui proses penyesuaian. Bahkan, tidak jarang secara lahir bertentangan dengan Islam, tapi ini hanya strategi. Misalnya, mereka dibiarkan minum tuak, makan babi, atau mempercayai para danyang dan sanghyang. Secara bertahap, perilaku mereka itu diluruskan. Kedua, ‘adamul haraj (tidak menyakiti). Para wali membawa Islam tidak dengan mengusik tradisi mereka, bahkan tidak mengusik agama dan kepercayaan mereka, tapi memperkuatnya dengan cara yang Islami.
C. Problematika pengembangan kajian hadits modern
Kajian hadits modern tidak luput dari kritikan mengingat ia lahir pada awal abad kedua dimana kelahirannnya ditandai dengan adanya upaya pembuatan kaedah-kaedah untuk mengukur kualitas hadits. Seiring dengan perkembangan zaman, problematika hadits dan ulumul hadits juga sangat luas. Olehnya itu, penulis mengklasifikasi beberapa problem sebagai berikut:
a. Problem Hadits Perspektif Sarjana Barat
Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal usul Islam, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauhmana hadits -hadits atau riwayat tentang nabi dan generasi Islam pertama dapat dipercaya secara historis? Pada fase awal kesarjanaan Barat, mereka menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadits dan riwayat- riwayat tentang nabi dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paruh kedua abad kesembilan belas, skeptisisme tentang otentisitas sumber tersebut muncul. Bahkan sejak saat itu perdebatan tentang isu tersebut dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh kelompok skeptis. Kontribusi sarjana seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook dan Norman Calder berpengaruh secara dramatis terhadap karya karya sarjana Barat.
Akan tetapi, tidak semua sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran atau “mazhab“ skeptis. Sarjana seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos Muranyi, M.J. Kister, Fueck, Schoeler bereaksi keras terhadap sejumlah premis, kesimpulan dan methodologi para kelompok skeptis. Mereka dapat digolongkan sebagai kelompok non-skeptis. Perdebatan antara kedua kelompok ini sangat tajam selama dua dekade terahir.
Singkatnya, diskursus hadits di Barat selalu merujuk kepada nama Ignaz Goldziher (Hongaria) dan Joseph Schacht (Austria), dan untuk yang masih hidup G.H.A. Juynboll (Belanda), Harald Motzki (Jerman) dan beberapa nama yang lain. Di mata orientalis, kedua nama yang pertama dianggap seperti Ibn al-Salah (pendekar ulum al-hadits Muslim) atau Ibn Hajar dalam dunia Islam. Sedangkan G. H. A. Juynboll dan Harald Motzki, dianggap (kurang lebih) seperti Muhammad Shakir, al-Albani dan al-Saqqaf atau al-Gumari dalam dunia Islam. Kedua nama pertama (Goldziher dan Schacht) telah wafat, tapi meninggalkan pengaruh global dan menciptakan mazhab skeptis di Barat. Di masa Goldziher (Mohammedanische Studien, 1890) dan Schacht (The Origins 1950), mayoritas sarjana Barat untuk tidak mengatakan semua, skeptis terhadap literatur Islam, termasuk hadits. Diskursus masa awal Islampun (abad pertama kedua) dianggap tidak tersentuh karena minusnya sumber yang tersedia untuk itu. Secara umum, mazhab skeptis berpendapat bahwa pengetahuan dan informasi tentang masa awal Islam (abad pertama kedua hijriah) hanyalah persepsi komunitas Muslim abad ketiga. Literatur yang ada tidak lebih dari sekedar refleksi peta konflik yang tidak dapat memantulkan realitas seperti digambarkan oleh sumber itu sendiri.
b. Problem Hadits dan Ulumul Hadits dari Aspek Metodologi
Metode yang digunakan oleh para sarjana Muslim klasik untuk menyandarkan sebuah hadits kepada nabi tidak mendapat tantangan signifikan dari sarjana Muslim modern. Memang terdapat sejumlah sarjana modern yang mencoba menunjukkan resistensinya terhadap ulumul hadits, tetapi mereka gagal mendapatkan simpati mayoritas sarjana Muslim.
Informasi tentang Nabi yang terekam dalam buku-buku hadits laksana pecahan-pecahan kaca yang harus direkonstruksi supaya dapat memantulkan berita-berita akurat tentang Nabi. Meskipun hadits-hadits tersebut telah diseleksi oleh para kolektornya (misalnya al-Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah, Abu Daud, Nasai dll). Namun, kenyataan bahwa para kolektor ini hidup pada abad ke III H. (dua ratus tahun lebih setelah nabi wafat). Pertanyaan epistimologis muncul: sejauh mana tingkat akurasi metodologi para kolektor ini dalam menyeleksi hadits- haditsnya? Apakah metodologi mereka sama dengan metodologi yang populer kita kenal dengan ulumul hadits?
Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadits, misalnya, tidak pernah menjelaskan metodologinya secara detail. Ulum al-hadits yang menurut mayoritas sarjana Islam sangat akurat, menyimpan sejumlah pertanyaan- pertanyaan epistimilogis yang tidak terjawab secara empiris. Ulum al-hadits diterima dan dianggap sesuatu yang taken for granted.
Kecenderungan sebagian di antara kita adalah menolak atau menerima sebuah hadits tanpa meneliti historisitasnya. Apabila sebuah hadits disebutkan dalam Sahih al-Bukhari atau Muslim, apalagi kalau keduanya menyebutkannya, lebih-lebih lagi kalau disebutkan juga dalam al-kutub al-sitta atau al-tis’a, maka tidak diragukan lagi hadits tersebut menurut mayoritas sarjana Islam, sahih, sehingga analisis historis terhadapnya tak lagi penting. Benarkah sikap seperti itu? Terdapatnya sebuah hadits dalam sejumlah kitab- kitab hadits bukanlah jaminan akan historisitasnya, karena boleh jadi hadits tersebut diriwayatkan secara massive pada generasi tertentu (paruh kedua abad kedua dan seterusnya sampai ke masa mukharrij), tapi pada generasi sebelumnya (paruh pertama abad ke II dan sebelumnya sampai masa Nabi) diriwayatkan secara ahad (single strand). Singkatnya, semua hadits yang terekam dalam kitab hadits harus tunduk pada kritik sejarah. Secara umum literatur hadits kita memiliki karakter sebagai berikut: Nabi-----satu Sahabat------satu Tabiin----satu fulan-satu fulan------sejumlah perawi sampai ke mukharrij (collector).
c. Problem pada Aspek Otentisitas Hadits
Aspek otentisitas hadits atau keaslian literatur hadits menjadi elemen yang paling rawan dari teori hadits klasik dan menjadi fokus utama dalam kebanyakan diskusi tentang masalah hadits, baik di era pertengahan maupun modern. Pembahasan ini muncul dan berkembang karena sesuai dengan pendapat yang dominan di kalangan ulama hadits bahwa terdapat interval waktu yang cukup jauh antara wafatnya Nabi saw sebagai sumber primer hadits dengan kodifikasi hadits secara resmi dan massal. Salah satu eksesnya baik secara langsung atau tidak langsung adalah adanya pemalsuan hadits.
Bila dibayangkan bahwa perjalanan hadits hingga sampai kepada kita, tentunya telah melewati fase yang tidak selalu mulus dan murni, bukan saja dari rangkaian sanad-nya tetapi juga materi hadits itu sendiri. Hadits-hadits Nabi tersebut, sampai pada masa pembukuannya secara resmi pada zaman Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99 H, masih bercampur dengan kata-kata atau fatwa sahabat. Hal ini menyebabkan jumlah materi yang dianggap hadits menjadi menggelembung seperti “gendang”, dari awal sedikit, menjadi banyak (pada tengahnya) dan pada akhirnya-setelah seleksi- menjadi sedikit lagi. Kitab sunan Imam Malik (92-179 H/ 12-798 M), al-Muwaththa’ yang merupakan kitab kumpulan atau koleksi hadits paling tua (disusun pada pertengahan awal abad ke II H.) tidak hanya memuat hadits Nabi saja tetapi juga fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.
d. Problem pada Aspek Otoritas Hadits
M.Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa pada zaman Nabi belum ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa ada yang menolak hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Barulah pada masa Abbasiyah (750-1258M), muncul secara jelas sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Mereka itu kemudian yang dikenal sebagai orang yang berpaham inkar as-sunnah.
Lain halnya, M.M. al-A’zamiy yang melihat bahwa otoritas hadits sudah mulai dipertanyakan sejak masa sahabat, meski sifatnya masih personal dan belum terlembagakan, pemikiran ini kemudian lenyap pada akhir abad ke III dan baru muncul kembali pada abad ke XIII H.
e. Problem pada Aspek Interpretasi Hadits.
Pada dasarnya interpretasi secara tekstual dan kontekstual telah terjadi sejak zaman Nabi. Pada perkembangan selanjutnya, muhadditsin lebih dominan menggunakan interpretasi yang bersifat tekstual, sementara di sisi lain para fuqaha lebih cenderung untuk menggunakan interpretasi bersifat kontekstual. Olehnya itu, hadits-hadits nabi tidak menutup kemungkinan untuk diinterpretasi ulang dengan berbagai pertimbangan.
D. Prospek pengembangan kajian hadits modern
Dewasa ini, kondisi kesarjanaan di abad 21 dewasa ini, dimana para sarjana pendahulu kita telah mewariskan karya-karya masterpiece yang sangat berharga, telah mengedit karya-karya masa lalu, memungkinkan kita untuk merekonstruksi sejarah Nabi, sahabat, tabiin dan generasi setelahnya, mengetahui sumber berita yang sesungguhnya. Kondisi kita dewasa ini jauh lebih bagus daripada kondisi al-Bukhari yang harus mencari dan mengumpulkan kepingan kepingan informasi tentang nabi dari suatu tempat ke tempat yang lain. Al-Bukhari telah meninggalkan mutiara koleksi informasi tentang Nabi. Sejumlah sarjana sebelum dan setelah al-Bukhari telah melakukan hal yang sama. Sarjana abad ini dapat membandingkan riwayat al-Bukhari dengan riwayat lain untuk melihat tingkat akurasi setiap periwayatan. Hal inilah yang memungkinkan kajian hadits di era modern bisa berkembang.
1. Perlunya kontekstualiasi hadits
Seiring dengan tantangan zaman yang semakin tinggi, berbagai persoalan pun muncul untuk dicarikan solusinya, baik dari al-Qur’an maupun hadits. Salah satu metode yang dapat ditempuh adalah kontekstualisasi hadits. Kontekstualisasi merupakan usaha penyesuaian dengan hadits untuk mendapatkan pandangan yang sejati, orisinal dan memadai bagi perkembangan atau kenyataan yang dihadapi. Ini berarti bahwa kontekstualisasi itu tidak dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan teks hadits atau sebaliknya, tetapi dilakukan dengan melakukan dialog atau saling mengisi di antara keduanya. Dengan demikian, kontekstualisasi dapat dilakukan guna menjawab tantangan zaman dengan memperhatikan beberapa hal di atas, dan bantuan berbagai macam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu sosial (sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah) dan lain sebagainya.
2. Penggunaan Metode Tematik
Istilah metode tematik dalam kajian hadits merupakan terjemahan dari Manhaj Syarh, al-Manhaj al Maudui'i fi Syarh al Hadits. Metode tematik itu mengandung pengertian pensyarahan, atau pengkajian hadits berdasarkan tema yang dipermasalahkan, baik menyangkut aspek ontologis, epistimologis atau aksiologisnya. Maka pengkajian hadits dengan metode tematik itu, memerlukan pendekatan holistik dan multidisipliner dengan memanfaatan berbagai teori dan berbagai disiplin ilmu seperti sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah. Pada dasarnya, sebuah hadits bila telah terbukti berasal dari Nabi, maka ia merupakan ajaran tentang kebaikan dan kebenaran. Karena itu, pengetahuan yang benar dan baik mestilah sejalan dengan hadits Nabi. Bahkan memperkuat kebenaran hadits Nabi.
3. Perlunya Rekonstruksi Ulumul Hadits
Rekonstruksi yang kami maksudkan adalah penataan ulang ilmu-ilmu hadits, mengingat hadits berjalan dinamis sesuai dengan perubahan yang melingkupinya. Nur ad-Din Itr mengungkapkan bahwa proses gradual lahirnya ilmu-ilmu hadits melalui rentang waktu yang cukup panjang dengan berbagai macam perubahannya, mulai masa pertumbuhannya yang terjadi sejak masa sahabat sampai abad I H., kemudian fase penyempurnaan pada awal abad ke-II awal abad ke III H. Fase pembukuan ilmu hadits secara independen sejak abad ketiga sampai pertengahan abad ke IV H. Fase penyusunan secara konfrehensif dan melimpahnya ilmu hadits pada pertengahan abad ke IV sampai ke VI H. Selanjutnya fse kematangan dan kesempurnaan dalam kodifikasi ilmu hadits, dimulai abad ke VII sampai ke X H. Kemudian fase statis, sejak abad ke X sampai XIV. Masa kebangkitan dari kejumudan sejak awal abad XIV sampai sekarang, aktivitas pada masa ini tampaknya lebih banyak dicurahkan untuk membahas pendapat-pendapat yang sudah banyak berkembang di Barat.
4. Perlunya Hermeutika Hadits
Secara etimologis, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuien yang berarti menafsirkan. Hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.
Bahasa Arab merupakan bahasa yang memiliki tingkat kesusastraan yang tinggi. Bahasa Arab –Balagah dan Mantiq- merupakan salah satu persyaratan untuk sampai pada taraf pemahaman yang konfrehensif. Mengenai logika yang digunakan oleh hadits, kita harus melihat dulu kompleksitas dari bahasa. Komunikasi bahasa sesungguhnya merupakan peristiwa antara manusia yang tidak hanya sekedar seseorang berbicara dan yang lain mendengarkan, namun terlibat berbagai variabel yang kompleks dan apabila diceritakan kembali melalui tulisan akan mengalami distori. Dalam memahami teks yang hadir di hadapan kita, setidaknya ada tiga variabel utama yang saling terkait yang harus kita ketahu, yakni; teks, pengarang, dan pembaca. Ketiganya dihubungankan oleh alat bantu yaitu bahasa. Tanpa medium bahasa, mustahil mushannif atau penghimpun hadits-hadits nabi dan teks-teks haditsnya mampu bersentuhan dengan dunia pembaca, yaitu para pengkaji hadits.
Dari pernyataan di atas, tampak bahwa dalam memahami hadits nabi, sangat ditekankan penggunaan gramatika bahasa. Karena hadits tertuang dalam bahasa Arab, maka cara yang paling dekat mengenal hadits adalah dengan merujuk pada karakter bahasa Arab itu sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dalam pembahasan ini, maka disimpulkan bahwa living sunnah itu biasa diartikan dengan “sunnah yang hidup” yang belakangan muncul pada akhir abad ke-20 dan diperkenalkan oleh seorang pemikir islam asal Pakistan yaitu Fazlur Rahman. Dalam pandangannya hadits adalah verbal tradition sedangkan sunnah adalah practical tradition atau silent tradition.
Berbeda dengan pemikiran Jalaluddin Rakhmat Ia tidak setuju tentang yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslimin adalah sunnah. Baginya, yang pertama kali adalah hadits.
Dari pemikiran Fazlur Rahman dan Jalaluddin Rakhmat tersebut dapat dikompromikan bahwa tradisi hadits dan sunnah sebenarnya terjadi bersamaan.
Adapun problematika yang muncul dalam pengembangan hadits, dan problem tersebut diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Problem Hadits Perspektif Sarjana Barat
b. Problem Hadits dan Ulumul Hadits dari Aspek Metodologi
c. Problem pada Aspek Otentisitas Hadits
d. Problem pada Aspek Otoritas Hadits
e. Problem pada Aspek Interpretasi Hadits
Selain daripada problematika, terdapat beberapa unsur prospek pengembangan hadits. Antara lain;
a. Perlunya kontekstualisasi Hadits
b. Penggunaan Metode tematik
c. Perlunya Rekontruksi Ulumul Hadits
d. Perlunya Hermeneutika
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin, 2013. Metodologi Pemahaman Hadis : Kajian Ilmu Ma’anil al-Hadis. Makassar: Alauddin University Press.
Ahmad, Arifuddin. Tafsir Hadis Bukan Untuk Perpecahan Umat. (Hasil wawancara Hapsa Marala dari Fajar dengan Prof Dr H Arifuddin Ahmad, MAg,) Sumber data: www.fajaronline.htm
Ahmad, Kassim. 2006. Hadis-Are-Evaluation, diterjemahkan oleh Asyraf Syarifuddin, dengan judul Hadis Ditelanjangi – Sebuah Re-Evaluasi Mendasar atas Hadis. Trotoar.
Amin, amaruddin. Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif. (Makalah), Sumber data: http://diktis.kemenag.go.id/acis/ancon06/makalah/Makalah%20Komaruddin..doc
Ash-Siddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits Semarang : Pustaka Rizki Putra.
Azami, M.M., 1992 M/1413H. Dirasah fi al-Hadis al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih Juz.I . Beirut:al-Maktab al-Islami.
Ismail, M.Syuhudi. 1415 H/1995 M. Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press.
Juynboll, G.H.A. 1999. The Authenticity of The Tradition Literature Discussions in Modern Egypt, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul Kontroversi Hadis di Mesir. Bandung ; Mizan.
Palmer, Richard E., 1969. Hermeneutics. Northwetern Univ. Press.
Soekanto, Soerjono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar Ed. Revisi 45. Jakarta : Rajawali Pers.
Soemardjan, Selo dan Soelaeman Soemardi (ed). 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta : Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo, Depok : Pustaka Iman.
Suryadi, 2002. Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis Nabi, dalam dalam Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya,
Waryono Abdul. 2002.Epistemologi Ilmu Hadis dalam Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
EmoticonEmoticon