FALSIFIKASI
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Filsafat Ilmu
yang dibina oleh Bapak Dr. Moh. Asror Yusuf, M.Ag
Oleh
Puguh Ari Wicaksono
928.005.18.010
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
KEDIRI
2018
BAB I
PENDAHULUAN
|
|||
A. Latar Belakang
Filsafat Ilmu Pengetahuan
merupakan sebuah obyek yang terus
mengalami perkembangan. Secara garis besar dan kronologis, perkembangan aliran
dalam filsafat ilmu pengetahuan dapat dibagi kedalam empat aliran, yaitu: Rasionalisme,
Empirisme dan Positivisme, Rasionalisme Kritis dan Kontruktivisme.
Karena ilmu pengetahuan
selalu ada unsur rasionalismenya, aliran empirisme mengalami kesulitan dalam
kaidah-kaidah logika dan matematika. Disinilah aliran positivisme muncul untuk
mengatasi masalah tersebut. Data observasi yang diperoleh dapat digunakan untuk
”menghitung”, atau melakukan penjabaran logis dan deduksi, sebagaimana yang
terjadi pada aliran rasionalisme. Dengan demikian, empirisme dan positivisme
memberikan kelonggaran lebih besar kepada masukan dari empiris dalam membangun
ilmu pengetahuan
Dari penjelasan di atas, aliran rasionalisme dan
empirisme termasuk positivisme merupakan dua aliran yang bertentangan.
Rasionalisme kritis berupaya menghubungkan unsur rasional dan empiris dalam
pengetahuan ilmiah. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dibangun dari proses
induktif, harus selalu terbuka terhadap kritik. Ilmu pengetahuan tersebut
terbuka upaya penyangkalan/pembuktian salah (falsifikasi) yang secara terus
menerus sehingga dapat lebih dikokohkan (corroborated).
Dalam makalah yang akan kami
sajikan ini akan mengulas lebih dalam mengenai falsifikasi (pembuktian salah)
yang merupakan buah pikiran dari seorang penganut aliran rasionalisme kritis
dan beliau tidak menyukai pandangan-pandangan yang tertutup, tidak terbuka
terhadap kritikan-kritikan. Beliau adalah Karl Raimund Popper.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1.
Siapakah Karl Raimund Popper?
2.
Apa yang dimaksud metode induktif?
3.
Apa yang dimaksud garis demarkasi?
4.
Apa yang dimaksud tiga dunia Karl Popper?
5.
Apa itu Falsifikasi Karl Popper ?
6.
Bagaimana kritik terhadap Falsifikasi?
7.
Bagaimana relevansi falsifikasi dalam dunia pendidikan?
C. Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan
sebagai berikut:
- Mengetahui biografi Karl Raimund Popper.
- Mengetahui metode induktif.
- Mengetahui garis demarkasi.
- Mengetahui tiga dunia Karl Popper.
- Mengetahui falsifikasi Karl Popper.
- Mengetahui kritik falsifikasi.
- Mengetahui relevansi falsifikasi dalam pendidikan
Bahasa Arab?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Karl Raimund Popper
Karl popper, nama
lengkapnya Karl Raimund Popper, merupakan salah satu kritikus abad ke-20 yang
paling tajam terhadap gagasan lengkaran Wina. Ia dilahirkan di Wina pada
tanggal 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr. Simon S.C.
Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat dan masalah sosial.
Pada tahun 1928,
Popper meraih gelar Doktor dengan judul disertasi Zur Methodenfrage der Denkpsychologie (Masalah Metode dalam Psikologi Pemikiran).
Popper merasa tidak puas dengan disertasinya dan memilih untuk mempelajari
bidang epistemologi yang dipusatkan pada pengembangan teori ilmu pengetahuan.
Usahanya ini semakin intentif ketika ia berjumpa dengan positivisme logis dari
lingkaran Wina. Meski demikian, ia bukan termasuk kelompok lingkaran Wina,
sebab dia merupakan kritikus paling tajam terhadap gagasan-gagasan lingkaran
Wina.[1]
Popper yang berdarah
Yahudi, harus meninggalkan tempat
kelahirannya sebab pada waktu itu Jerman di bawah kekuasaan Hitler telah
menduduki tempat itu. Popper lalu pindah ke Selandia Baru dan mengajar di
Universitas Christchurch. Ia pun tidak
menetap di sana, sebab pada tahun1945, ia pindah ke Inggris dan mengajar di
London School of Economics.[2] Di
London School of Economics ini ia diangkat menjadi professor pada tahun 1948,
berkat karyanya yang anti Komunis berjudul The open Society and Its Enemies,
yang ia buat tahun 1945.[3]
Tampaknya, Popper
termasuk filsuf yang beruntung karena
hidup di masa Postmodern, ia mewarisi problem-problem filosofis para
pendahulunya dan menjadi terakumulasi sedemikian rupa di dalam pemikirannya,
terlebih setelah perkenalannya dengan Albert Einstein dan menyaksikan
tergantikannya teori Newton dengan Relativismenya Einsten.[4]
Peristiwa ini mampu membuka cakrawala baru bagi dirinya untuk membangun teori
kritis.
Karl Popper
menginggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di London Selatan akibat penyakit
jantung. Adapun beberapa karya tulisnya
yang terbesar antara lain sebagai berikut: The Poverty of Historicism (1945); The Open Society and Its Enemies I dan II (1945); The Logic of Scientific Discovery (1959); Conjectures
and Refutations: The Growt of Scientific Knowledge An
Evolutionary Approach (1963); The Philosiphy of Karl Popper (1974); Unended Quest; dan The
Self and Its Brain.
B. Metode Induktif
Salah satu metode
ilmiah dalam wacana saintifik adalah metode induksi. Secara historis, metode
induksi sudah dimulai oleh Aristoteles. Ia menggunakan istilah induksi untuk
mengacu ke proses pemikiran dimana akal budi manusia, dengan bertolak dari
pengetahuan tentang hal-hal yang ‘khusus’, menyimpulkan pengetahuan yang
‘umum’.[5]
Secara teknis, Aristoteles menguraikan dengan jelas setidaknya dua macam
induksi, yang diistilahkan induksi sempurna (perfect) dan luas (ampliative).
Induksi sempurna (perfect) adalah menarik kesimpulan umum yang diambil
berdasarkan pengetahuan tentang tiap contoh yang diteliti. Sedangkan induksi
luas (ampliative) adalah menarik kesimpulan dari contoh-contoh
sebagai sampel kelas dan memuat generalisasi dari sifat-sifat khas sampel itu ke
sifat-sifatnya khas kelas.[6] Pada
perkembangannya Aristoteles tidak memberi objek perhatian terhadap persoalan
induksi dan justru mengembangkan metode deduksi sebagai jalan sempurna menuju
ke pengetahuan baru.[7]
Namun, pada abad
ke-17, Francis Bacon mengkritisi metode deduktif Aristoteles yang tidak
menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru. Bagi Bacon, metode yang dicetuskan
Aristoteles tidak sanggup menghasilkan penemuan- penemuan empiris. Ia
mengatakan bahwa metode yang dicetuskan itu hanya dapat membantu mewujudkan
konsekuensi deduktif daripada yang sebenarnya telah diketahui. Agar pengetahuan
itu berkembang dan demi memperoleh pengetahuan yang benar-benar berguna,
konkret, dan praktis, metode deduktif harus ditinggalkan dan diganti dengan metode induktif. Bacon
berhasil menemukan suatu metode induksi baru yang benar-benar dapat
dipertanggung jawabkan.[8]
Metode induksi
adalah suatu metode atau suatu proses penyisihan atau pelenyapan, dengannya
semua sifat, yang tidak termasuk sifat yang tunggal ditiadakan. Tujuannya ialah
untuk memiliki sebagai sisanya sifat-sifat yang menonjol dalam fakta-fakta yang
diamati. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bacon ingin
menemukan sifat panas. Ia memahami panas adalah gerakan-gerakan cepat yang
tidak teratur dari bagian-bagian kecil benda-benda. Supaya sifat panas dapat
ditemukan ia membuat daftar-daftar benda-benda panas dan benda-benda dingin dan
juga benda-benda yang mempunyai tingkatan panas yang bermacam-macam. Ia
berharap bahwa daftar- daftar ini
menampakkan beberapa corak watak panas yang senantiasa berada di dalam benda-benda
panas, dan yang senantiasa tidak berada dalam benda-benda dingin serta yang
senantiasa berada dalam benda-benda yang panasnya bermacam-macam tingkatannya.
Dengan metode ini,
ia berharap menemukan hukum-hukum yang umum, yang (dengan pengujian-pengujian
dalam keadaan-keadaan yang baru) dapat naik, dari hukum yang masih rendah
tingkatannya menuju ke hukum yang tertinggi. Untuk melihat operasional metode
induksi beserta syarat-syarat yang menyertainya, Thomas Henry Huxley
mencontohkan sebagai berikut:
“Anggaplah kita mengunjungi warung buah-buahan karena ingin membeli
apel. Kita ambil sebuah, dan ketika mencicipinya, terbukti itu masam. Kita
perhatikan apel itu dan terbukti bahwa apel itu keras dan hijau. Kita ambil
sebuah sebuah yang lain, itu pun keras, hijau dan masam. Si pedagang menawarkan
apel ketiga. Akan tetapi, belum mencicipinya, kita memerhatikannya dan terbukti
yang itu pun keras dan hijau, dan seketika itu kita diberitahukan, bahwa kita
tidak menghendakinya, karena yang itu pun pasti masam, seperti lain-lainnya
yang sudah kita cicipi”.
Jalan pikiran si
calon pembeli sehingga ia sampai pada kesimpulan untuk tidak membeli apel,
ialah sebuah induksi. Huxley menjelaskan proses induksi sebagai berikut:
“Pertama-tama, kita telah melakukan kegiatan yang disebut induksi. Kita telah menemukan
bahwa dalam dua kali pengalaman sifat keras dan hijau pada apel itu selalu
bersama-sama dengan sifat masam. Demikianlah pada peristiwa yang pertama, dan
itu diperkuat dalam peristiwa yang kedua. Memang itu dasar yang amat sempit,
akan tetapi sudah cukup untuk dijadikan dasar induksi, kedua fakta itu bisa
digeneralisasikan dan kita percaya akan berjumpa dengan rasa masam pada apel,
bila kita temui sifat keras dan hijau. Dan ini suatu induksi yang tepat.[9]
Kalau dirumuskan
secara formal, penalaran di atas menurut Huxley adalah demikian:
Apel 1 keras dan hijau adalah
masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah
masam.
Semua apel keras dan hijau
adalah masam.[10]
Induksi seperti di
atas sesuai dengan definisi Aristoteles, yaitu proses peningkatan dari hal-hal
yang bersifat individual kepada yang bersifat universal. Di situ premisnya
berupa proporsi-proporsi singular, sedang konklusinya sebuah proposisi
universal, yang berlaku secara umum. Maka induksi dalam bentuk ini disebut
generalisasi. Akan tetapi, penalaran calon pembeli itu juga dapat dirumuskan
dalam bentuk lain sebagai berikut:
Apel 1 keras dan hijau adalah
masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah
masam.
Apel 3 keras dan hijau.
Apel 3 adalah masam.
Bentuk penalaran
di atas juga suatu induksi, namanya analogi induktif. Untuk analogi induktif
ini, mungkin batasan Aristoteles kurang mengena. Meskipun benar bahwa tidak
mungkin apel 3 itu masam kalau tidak semua apel keras dan hijau itu masam, akan
tetapi konklusi penalaran di atas bukan suatu proposisi universal, melainkan
suatu proposisi singular.[11] Dari
contoh dua jenis induksi di atas dapat diketahui ciri-ciri induksi sebagai
berikut:
1. Premis-premis dari induksi
ialah proposisi empirik yang langsung kembali kepada suatu observasi indra atau
proposisi dasar. Proposisi dasar menunjuk kepada fakta, yaitu observasi yang
dapat diuji kecocokannya dengan tangkapan indra. Pikiran tidak dapat
mempersoalkan benar tidaknya fakta, akan tetapi hanya dapat menerimanya. Bahwa
apel 1 itu keras, hijau dan masam, hanya indralah yang dapat menangkapnya.
Sekali indra mengatakan demikian, pikiran tinggal menerimanya.
2. Konklusi penalaran induktif
itu lebih luas daripada yang dinyatakan di dalam premis-premisnya.
Premis-premisnya hanya mengatakan bahwa apel yang keras, hijau, dan masam itu
hanya dua, apel 1 dan 2. Itulah yang diobservasi dan itulah yang dirumuskan di
dalam premis-premis itu. Kalau dikatakan, bahwa juga apel 3 itu masam, hal itu
tidak didukung oleh premis-premis penalaran. Menurut kaidah-kaidah logika,
penalaran itu tidak shahih, pikiran tidak terikat untuk menerima kebenaran
konklusinya.
3. Meskipun konklusi induksi
itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang normal akan menerimanya, kecuali
kalau ada alasan untuk menolaknya. Jadi konklusi penalaran induktif itu oleh pikiran
dapat dipercaya kebenarannya atau dengan perkataan lain, konklusi induksi itu
memiliki kredibilitas rasional. Kredibilitas rasional adalah probabilitas.
Probabilitas itu didukung oleh pengalaman, artinya konklusi induksi itu menurut
pengalaman biasanya cocok dengan observasi indra, tidak mesti harus cocok.[12]
C. Garis Demarkasi
Problem demarkasi
dirumuskan oleh Popper sebagai problem mengenai bagaimana menemukan sebuah
kriteria yang bisa membedakan ilmu-ilmu empiris dari matematika, logika dan system-sistem metafisik.[13]
Solusi Popper terhadap induksi ternyata membangkitkan cara pandang yang baru
terhadap problem awalnya yakni, problem seputar kriteria demarkasi ilmiah yang
tepat.
Kriteria
verifiabilitas bukanlah suatu kriteria demarkasi ilmu, melainkan sebagai
kriteria kemaknaannya. Bermakna tidaknya suatu pernyataan atau hipotesis ilmiah
ditentukan oleh corak empiris positifnya. Logika induktif dan prinsip
verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak
bermakna sama sekali. Kriteria demarkasi dan logika induktif mengakibatkan
terjadinya percampurbauran antara metafisika dan ilmu pengetahuan, yang pada
gilirannya dapat mengaburkan kedua-duanya.[14] Hal
inilah yang membuat Karl Popper menentang gagasan dari lingkaran Wina dan membuat
demarkasi lain dengan kriteria falsifikasi.
Solusi Popper
tentang Problem Demarkasi
Popper hendak
merumuskan sebuah kriteria demarkasi antara ilmu dan non ilmu (metafisika).
Kriteria demarkasi yang digunakan oleh Popper adalah kriteria falsifiabilitas (kemampuan
dan kemungkinan disalahkan atau disangkal). Setiap pernyataan ilmiah pada
dasarnya mengandung kemampuan disangkal, jadi ilmu pengetahuan empiris harus
bisa diuji secara deduktif dan terbuka kepada kemungkinan falsifikasi empiris.
Contoh:
Akan terjadi atau
tidak terjadi hujan di sini esok
Akan terjadi hujan
di sini esok
Pernyataan (1) tidak bersifat
empiris oleh karena tidak dapat disangkal. Sedangkan pernyataan (2) bersifat
empiris karena dapat disangkal.
Kriteria demarkasi
Popper didasarkan pada suatu asimetri logis antara verifiabilitas dan
falsifiabilitas.[15]
Pernyataan universal tidak bersumber dari pernyataan tunggal, tetapi sebaliknya
bisa bertentangan dengannya. Dengan logika deduktif, maka generalisasi empiris
atau pernyataan universal dapat diuji dan disangkal secara empiris, tetapi
tidak dapat dibenarkan. Hal ini berarti bahwa hukum-hukum ilmiah pada dasarnya
dapat diuji, kendatipun tidak dapat dibenarkan atau dibuktikan secara induktif.
Dari uraian di
atas dapat disederhanakan sebagai berikut:
Problem demarkasi
dirumuskan oleh Popper sebagai problem mengenai bagaimana menemukan sebuah
kriteria yang bisa membedakan ilmu-ilmu empiris dari matematika, logika dan sistem-sistem metafisik.[17] Solusi
Popper terhadap induksi ternyata membangkitkan cara pandang yang baru terhadap
problem awalnya yakni, problem seputar kriteria demarkasi ilmiah yang tepat.
Kriteria
verifiabilitas bukanlah suatu kriteria demarkasi ilmu, melainkan sebagai
kriteria kemaknaannya. Bermakna tidaknya suatu pernyataan atau hipotesis ilmiah
ditentukan oleh corak empiris positifnya. Logika induktif dan prinsip
verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak
bermakna sama sekali. Kriteria demarkasi dan logika induktif mengakibatkan
terjadinya percampurbauran antara metafisika dan ilmu pengetahuan, yang pada
gilirannya dapat mengaburkan kedua-duanya. Hal inilah yang membuat Karl Popper
menentang gagasan dari lingkaran Wina dan membuat demarkasi lain dengan
kriteria falsifikasi.
D. Perspektif Tiga
Dunia Karl Popper
Popper yang
berasal dari Austria ini dan lebih banyak dikenal karena teori falsifikasinya
(‘lawan’ teori verifikasi) itu membagi dunia menjadi tiga tingkatan:
a. Dunia 1, yang berisi dunia fisik. Batu dan bintang
adalah contohnya.
b. Dunia 2, adalah dunia proses atau pengalaman. Kalau
kita bicara tentang kegalauan, misalnya, itu ada di ‘dunia 2’. Baik pengalaman
sadar dan tidak sadar juga masuk dalam dunia ini. Ini adalah dunia ‘pengalaman
subjektif’. Semua proses berpikir yang bersifat konkret masuk ke dunia ini.
c. Dunia 3 adalah
dunia yang berisi produk hasil pemikiran manusia. Contohnya: rumus matematika,
teori, lagu, dan simponi. Semua konten hasil pemikiran yang bersifat abstrak
masuk ke dalam dunia ini.
Lukisan adalah
‘dunia 3’ kalau dianggap sebagai konten hasil ‘pemikiran’ pelukisnya.
Karenanya, Popper tidak setuju kalau lukisan dianggap sebagai ‘ekspresi diri’.
Seharusnya bagi pelukis, yang lebih penting adalah lukisannya bukan dirinya.
Contoh lain:
Sebuah buku, secara fisik adalah ‘dunia 1’, tetapi pemikiran yang ada di
dalamnya adalah ‘dunia 3’. ‘Dunia 3’ di
sini ‘diperangkap’ di ‘dunia 1’. Bisa jadi ‘dunia 3’ yang sama dapat
terperangkap dalam ‘dunia 1’ yang berbeda, seperti buku dengan isi yang sama
diterbitkan dalam sampul dan ukuran yang berbeda. Ketika kita membakar buku
tersebut, maka ‘dunia 1’ akan musnah, tetapi ‘dunia 3’, ide yang dikandung buku
masih dalam otak penulis, dan dapat berpindah ke dalam ‘dunia 2’ ketika
seseorang membaca buku tersebut. Ketika seseorang membaca sebuah tulisan di
sumber yang lain, mungkin akan berkomentar, “Kethoke masalah ini sudah dibahas
di buku itu deh“. Ini adalah ‘dunia 2’, dunia pengalaman subjektif. Kita juga
bisa berkomentar, “Buku ini lebih bagus daripada buku itu”. Kini kita masuk ke‘dunia
3’.
Dari penjelasan di
atas, pandangan tiga dunia Karl Popper dapat disederhanakan sebagai berikut:
Dunia 1
Kenyataan dunia fisis
Objektivisme kasar
Dunia 2
Kenyataan psikis dalam diri
manusia
Subjektivisme semata
Dunia 3
Sintesa objektivisme dan subjektivisme
Hipotesa, hukum, teori ciptaan
manusia.
Hasil kerja sama antara dunia
1 dan dunia 2
Seluruh bidang kebudayaan,
seni, metafisika, agama, dll.
Dunia 3
Dunia 3 hanya ada ketika
dihayati, yakni dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang
berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri para
seniman, dan penggemar seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka.
Sesudah penghayatan, semuanya
mengendap menjadi bentuk-bentuk fisik (dunia 1).
Ketika manusia menggauli dunia
3 dan dunia 1, manusia membangkitkan kembali dan mengembangkan kemampuan
psikisnya dalam dunia 2 lalu menghasilkan dunia 3, begitu seterusnya.
E. Falsifikasi
Dalam konteks
penolakan terhadap induktivisme para pendukung teori falsifikasi menyatakan
bahwa setiap penelitian ilmiah dituntun oleh teori tertentu yang mendahuluinya.
Karena itu, semua keyakinan bahwa kebenaran teori-teori ilmiah dicapai melalui
kepastian hasil observasi, sungguh-sungguh ditolak. Teori merupakan hasil
rekayasa intelek manusia yang kreatif dan bebas untuk mengatasi problem-problem
yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Teori-teori itu kemudian diuji
dengan eksperimen-eksperimen atau observasi-observasi. Terori yang tidak dapat
bertahan terhadap suatu eksperimen harus dinyatakan gagal dan digantikan oleh
teori spekulatif lain. Itu berarti, ilmu pengetahuan berkembang melalui
kesalahan dan kekeliruan, melalui hipotesis dan refutasi.
Menurut teori
falsifikasi, ada teori yang dapat dibuktikan salah berdasarkan hasil observasi
dan eksperimen. Ilmu pengetahuan tidak lain dari rangkaian hipotesis-hipotesis
yang dikemukakan secara tentatif untuk menjelaskan tingkah laku manusia atau
kenyataan dalam alam semesta. Tetapi tidak setiap hipotesis dapat begitu saja
diklasifikasikan di bawah ilmu pengetahuan. Hipotesis yang layak disebut
sebagai teori atau hukum ilmiah harus memenuhi syarat fundamental berikut:
hipotesis itu harus terbuka terhadap kemungkinan falsifikasi.
Contoh:
1. Tidak pernah turun hujan pada hari-hari
Rabu
2. Semua substansi akan memuai jika dipanaskan
Pernyataan (1) dapat difalsifikasikan
karena dengan suatu observasi kita dapat menunjukkan bahwa pada hari Rabu
terntentu ada hujan. Pernyataan (2) pun dapat difalsifikasi karena melalui
observasi kita dapat memperlihatkan bahwa ada substansi tertentu tidak memuai
jika dipanaskan.
Pernyataan berikut ini tidak memenuhi
syarat yang dikemukakan oleh Popper dan konsekuensinya tidak dapat
difalsifikasikan:
1.
Baik pada hari hujan maupun tidak hujan saya datang
Tidak ada suatu pernyataan
observasi yang secara logis dapat menyangkal pernyataan (1). Pernyataan ini
benar, bagaimanapun keadaan cuaca. Pernyataan di atas ini tidak dapat
difalsifikasikan, sebab semua kemungkinan yang akan terjadi atau diturunkan
dari pernyataan di atas, tetap benar.
Falsifikasi
merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak gagasan dari
lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan penolakan Popper ini,
karena dalam rangkah membedakan ilmu yang bermakna dan tidak bermakna masih
menjunjung tinggi induksi.[16]
Beberapa kritik yang dikemukakan Popper terhadap prinsip verifikasi.
Pertama, prinsip
verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum.
Menurut Popper, hukum-hukum umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat
diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar
terdiri dari hukum-hukum umum tidak bermakna, sama seperti metafisika).
Kedua, sejarah
membuktikan bahwa ilmu pengetahuan juga lahir dari pandangan-pandangan metafisis.
Karena itu Popper menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja dapat
bermakna tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah setelah diuji.
Ketiga, untuk
menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih dulu harus
kita mengerti ucapan atau teori itu. Solusi yang diberikan oleh Popper terhadap
problem induksi ternyata mengarahkan perhatiannya secara lebih serius kepada
problem demarkasi, atau problem batas antara pengetahuan yang ilmiah dan
pengetahuan yang bukan ilmiah.Untuk itu pada bagain ini, penulis terlebih
dahulu mengangkat problem demarkasi ini sebagai titik tolak dari falsifikasi
Popper.
Metode falsifikasi
sederhana saja dengan observasi terhadap angsa-angsa putih, betapapun besar
jumlahnya, orang tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna
putih, tetapi sementara itu cukup satu kali observasi terhadap seekor angsa
hitam untuk menyangkal pendapat tadi.” Jadi, dengan pembuktian seperti itulah
sebuah hukum ilmiah berlaku. Bahwa bukan apakah suatu hukum ilmiah dapat
dibenarkan melainkan dapat dibuktikan salah.
F. Kritik terhadap
Falsifikasi Karl Popper
Pandangan
falsifikasionis Popper ini juga tidak lepas dari kritik dari tokoh-tokoh yang
datang sesudahnya. Imre Lakatos (1974) mengkritik prinsip falsifikasi Popper
yang sangat menentang penerapan induksi dalam metode ilmu pengetahuan.
Metodologi atau logika penemuan ilmiah yang dikembangkan Popper dalam bukunya Logic of Scientific Discovery hanya terdiri dari aturan untuk menilai sebuah
teori yang sudah dirumuskan, dimana
dalam pandangan Popper tersebut ditegaskan bahwa teori ilmiah tidak didasarkan
atau dikukuhkan oleh fakta melainkan dirontokkan olehnya (Mungkasa, 2002 : 6).
Taryadi (1991: 67) menilai bahwa metodologi yang dikembangkan oleh popper hanya terdiri dari aturan-aturan untuk
menilai teori-teori yang sudah dirumuskannya sendiri. Metodologi itu berdiri di
atas kaki sendiri, dikejar demi dirinya sendiri. Istilah benar dan salah
dihindarkan. Ilmu hanya bisa ditemukan kekeliruannya. Akibatnya Popper sendiri
tidak bisa menjawab pertanyaan apa yang bisa diperoleh dalam aturan permainan
ilmu atau metodologi.
Memang Popper
telah mengajukan gagasan tentang verisimilitude, yakni kondisi
membandingkan antara truth-content dengan falsity-content, dimana dengan gagasan ini ia menunjukkan adanya
kemungkinan kemajuan ilmu pengetahuan bahkan ketika verisimilitude -nya bertambah ilmu pengetahuan pun masih ada kemungkinan untuk maju.
Karena di dalamnya seseorang masih memungkinkan untuk memilih teori kedua yang masih
mengandung truth-content daripada memilih teori pertama yang memiliki
tingkat falsity-content lebih besar (Taryadi, 1991 : 79).
Kuhn juga
mengkritik Popper yang berpendapat bahwa aktivitas-aktivitas ilmiah berpusat
pada falsifikasi atau menguji teori; kemudian, dengan berpegang pada
pernyataan-pernyataan observasi seorang ilmuwan bertugas menguji semua teori
atau hipotesis. Kuhn mengkritik karena menurutnya, para ilmuwan yang
berkecimpung dalam “normal science” bukan lagi sebagai penguji teori tetapi sebagai
pemecah masalah dan kesulitan hidup. Dalam kemapaman paradigma itu tidak ada
lagi pertentangan antara paradigma. Karena paradigma yang telah diterima
dipakai sebagai landasan dan pedoman untuk praksis kehidupan (Chalmers, 1983:
96). Ia menganggap bahwa Popper telah memutarbalikkan kenyataan dengan
menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis disusul upaya
falsifikasi (Chalmers, 1983: 100-103). Menurutnya, terjadinya
perubahan-perubahan hanya berlangsung melalui revolusi-revolusi ilmiah, yakni
“Segala perkembangan nonkumulatif di mana paradigma yang telebih dahulu ada
diganti dengan tak terdamaikan lagi, keseluruhan ataupun sebagian, dengan yang
baru” (Chalmers, 1983 : 103).
G. Relevansi Falsifikasi dalam Pendidikan Bahasa Arab
Bila prinsip
falsifikasi Popper diterapkan pada kajian terhadap pemikiran para sarjana
Muslim tentang teks al-Qur’an atau al-Hadits yang berhubungan dengan sains,
serta teori bahasa, atau tentang pemikiran mereka tentang konsep-konsep agama,
maka aplikasi metode falsifikasi Popper ini sangat mungkin dilakukan. Dengan
tanpa melihat objek materiil kajian keilmuan yang akan dilakukan para ulama,
kita bisa melihat semangat keilmuan yang dikandung oleh pemikiran Popper ini,
bahwa sebuah teori bukanlah kebenaran. Teori masih membutuhkan pengkajian lebih
jauh untuk menemukan kelemahan-kelemahan di dalamnya untuk kemudian dibangun
sebuah penyempurnaan. Sikap dogmatis pada sebuah teori tertentu akan membawa
ilmuwan pada kematian ilmu pengetahuan.
Sekali lagi, Popper mengatakan bahwa predikat terbaik yang bisa dicapai oleh
sebuah teori adalah mendekati kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Conjecture dan falsification adalah tawaran
Popper pada ilmu pengetahuan untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari kematian
dini.
Dalam Pendidikan
Bahasa Arab, falsifikasi dapat dicontohkan sebagai berikut:
Ketika dalam suatu kelas,
kelas 8A. Di dalam kelas tersebut ada 30 anak Sebagian besar dari mereka banyak
anak yang pintar. Nah, dari sana kita dapat melihat bahwasanya sebagian besar
anak kelas 8A adalah anak yang Pintar. Dari pernyataan umum tersebut dapat
difalsifikasikan bahwa ada anak yang
kurang pintar berbahasa Arab di kelas 8A. Artinya dari 30 anak di kelas 8A ada
anak yang kurang pintar berbahasa Arab. Nah, untuk mengetahui berapa anak yang kurang
pintar berbahasa Arab itu dapat dilakukan pencarian bukti dengan melakukan
penelitian di kelas tersebut. Atau bisa jadi dari beberapa anak kurang pintar
berbahasa Arab tadi memang yang berbakat di bidang olahraga, kesenian, atau
matematika, hal ini sesuai dengan teori kecerdasan majemuk milik Howard
Gardner.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dan rumusan masalah
yang telah dijawab dalam pembahasan ini, maka disebutkan beberapa kesimpulan di
bawah ini:
1.
Karl
Raimund Popper adalah tokoh popular dalam aliran falsifikasi.
2.
Metode
induktif adalah sebuah mentode dari statement singular atau tunggal ke
statement general atau umum.
3.
Garis
demarkasi adalah garis pemisah antara bidang ilmiah dan bidang non ilmiah,
antara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan.
4.
Tiga
Dunia Karl Popper yaitu,
a.
Dunia
1 adalah dunia fisik
b.
Dunia
2 adalah dunia pengalaman.
c.
Dunia
3 adalah dunia produk pemikiran.
5.
Falsifikasi
adalah penarikan sebuah kesimpulan dari sebuah kesalahan.
6.
Menurut
Popper setiap teori ilmiah selalu hanya bersifat hipotetis, yakni berupa dugaan
sementara (conjecture), tidak akan pernah ada kebenaran final. Setiap teori
selalu terbuka untuk digantikan oleh teori baru yang lebih tepat.
7.
Relevansi
falsifikasi dalam dunia pendidikan yakni dengan menghubungkan teori falsikasi
dalam dunia pendidikan. Dan untuk mencari kebenaran dari statement falsifikasi
dilakukan pencarian bukti yang mendukung akan statement falsifikasi tersebut.
B.
Saran
Berdasarkan hasil penemuan yang telah diuraikan panjang lebar di atas, maka ada
beberapa hal yang perlu direkomendasikan pada berbagai pihak, di antaranya
adalah:
- Bagi Mahasiswa sebaiknya
lebih mendalami ilmu filsafat terutama falsifikasi, karena pemikir ilmu
bahasa bisa muncul dari dalam ilmu ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat Jakarta. Gramedia.
Bertens, K.2002. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman.
Jakarta: Gramedia
Chalmers, A.F.,
1983.
What is This
Thing Called Science
(Apa itu yang Dinamakan Ilmu), terj. Redaksi hasta
Karya, Jakarta : Hasta Karya,
Crowther, Jonathan. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of
Current English. New York: Oxford University Press
Edward, Paul (ed). 1967. The Encyclopedia of Philosophy, vol. V. New
York, London : Mcmillan Publishing Co. Inc. and The Free Press.
Hidayat, Komarudin. 2003. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Bandung:
Teraju Mizan
Kattsoft, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara
Wacana
Macintyre, A. 1967. The Encyclopedia of Philosophy. New York: The
Macmilan Company and The Free Press
Popper, Karl. 1969. Conjectures and Refutations; The Growth of
Scientific Knowledge. London: Routledge and Kegan Paul
Popper, Karl. 1968. The Logic of Scientific Discovery. London:
Hutchinson
Taryadi, Alfons, 1991. Epistemologi
Pemecahan Masalah Menurut
Karl Popper,
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sibawaihi. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga
[1] Muslih, Mohammad.
2005. Filsafat Ilmu. LESFI. Yogyakarta. Hal 105.
[2] Edward, Paul (ed). 1967. The Encyclopedia of Philosophy, vol. V.
New York, London : Mcmillan Publishing Co. Inc. and The Free Press. Hal 398
[3] Muslih, Mohammad.
2005. Filsafat Ilmu. LESFI. Yogyakarta. Hal 105.
[4] Popper, Karl. 1968. The Logic of Scientific Discovery. London:
Hutchinson. Hal 292
[5] Karl R.Popper, The Logic of Scientific Discovery (New York:
Routledge, 2005),hlm.xix.
[6] Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002), hlm.342.
[7] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, op.cit., hlm.169.
[8] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996),
hlm.113-114.
[9] R. G. Soekadijo, Logika Dasar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2001), hlm.131.
[10] Ibid.
[11] Ibid.,hlm. 132-133.
[12] Ibid., hlm. 132-133.
[13] J.A.Ufi. Metodologi Problem Solving dalam Pandangan Karl R. Popper
( Skripsi S-1 STF Seminari Pineleng, Manado, 1998), hlm.32.
[14] K.R. Popper, “The Logic of Scientific Discovery (New York: Basic
Books, 1959) hlm 34.
[15] Ibid. hal 34.
[16] Ibid Hal 56
EmoticonEmoticon