Sunday, September 12, 2021

MAKALAH FALSIFIKASI - IAIN KEDIRI

 FALSIFIKASI 

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas matakuliah

Filsafat Ilmu

yang dibina oleh Bapak Dr. Moh. Asror Yusuf, M.Ag




Oleh

Puguh Ari Wicaksono

928.005.18.010



PENDIDIKAN BAHASA ARAB

PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

KEDIRI

2018


BAB I

PENDAHULUAN


 

 

 


A.      Latar Belakang

Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan  sebuah obyek yang terus mengalami perkembangan. Secara garis besar dan kronologis, perkembangan aliran dalam filsafat ilmu pengetahuan dapat dibagi kedalam empat aliran, yaitu: Rasionalisme, Empirisme dan Positivisme, Rasionalisme Kritis dan Kontruktivisme.

Karena ilmu pengetahuan selalu ada unsur rasionalismenya, aliran empirisme mengalami kesulitan dalam kaidah-kaidah logika dan matematika. Disinilah aliran positivisme muncul untuk mengatasi masalah tersebut. Data observasi yang diperoleh dapat digunakan untuk ”menghitung”, atau melakukan penjabaran logis dan deduksi, sebagaimana yang terjadi pada aliran rasionalisme. Dengan demikian, empirisme dan positivisme memberikan kelonggaran lebih besar kepada masukan dari empiris dalam membangun ilmu pengetahuan

Dari  penjelasan di atas, aliran rasionalisme dan empirisme termasuk positivisme merupakan dua aliran yang bertentangan. Rasionalisme kritis berupaya menghubungkan unsur rasional dan empiris dalam pengetahuan ilmiah. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dibangun dari proses induktif, harus selalu terbuka terhadap kritik. Ilmu pengetahuan tersebut terbuka upaya penyangkalan/pembuktian salah (falsifikasi) yang secara terus menerus sehingga dapat lebih dikokohkan (corroborated).

Dalam makalah yang akan kami sajikan ini akan mengulas lebih dalam mengenai falsifikasi (pembuktian salah) yang merupakan buah pikiran dari seorang penganut aliran rasionalisme kritis dan beliau tidak menyukai pandangan-pandangan yang tertutup, tidak terbuka terhadap kritikan-kritikan. Beliau adalah Karl Raimund Popper.

 

B.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1.      Siapakah Karl Raimund Popper?

2.      Apa yang dimaksud metode induktif?

3.      Apa yang dimaksud garis demarkasi?

4.      Apa yang dimaksud tiga dunia Karl Popper?

5.      Apa itu Falsifikasi Karl Popper ?

6.      Bagaimana kritik terhadap Falsifikasi?

7.      Bagaimana relevansi falsifikasi dalam dunia pendidikan?

 C.      Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan sebagai berikut:

  1. Mengetahui biografi Karl Raimund Popper.
  2. Mengetahui metode induktif.
  3. Mengetahui garis demarkasi.
  4. Mengetahui tiga dunia Karl Popper.
  5. Mengetahui falsifikasi Karl Popper.
  6. Mengetahui kritik falsifikasi.
  7. Mengetahui relevansi falsifikasi dalam pendidikan Bahasa Arab?


BAB II

PEMBAHASAN

 A.    Biografi Karl Raimund Popper

Karl popper, nama lengkapnya Karl Raimund Popper, merupakan salah satu kritikus abad ke-20 yang paling tajam terhadap gagasan lengkaran Wina. Ia dilahirkan di Wina pada tanggal 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr. Simon S.C. Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat dan masalah sosial.

Pada tahun 1928, Popper meraih gelar Doktor dengan judul disertasi Zur Methodenfrage der Denkpsychologie (Masalah Metode dalam Psikologi Pemikiran). Popper merasa tidak puas dengan disertasinya dan memilih untuk mempelajari bidang epistemologi yang dipusatkan pada pengembangan teori ilmu pengetahuan. Usahanya ini semakin intentif ketika ia berjumpa dengan positivisme logis dari lingkaran Wina. Meski demikian, ia bukan termasuk kelompok lingkaran Wina, sebab dia merupakan kritikus paling tajam terhadap gagasan-gagasan lingkaran Wina.[1]

Popper yang berdarah Yahudi, harus meninggalkan  tempat kelahirannya sebab pada waktu itu Jerman di bawah kekuasaan Hitler telah menduduki tempat itu. Popper lalu pindah ke Selandia Baru dan mengajar di Universitas Christchurch. Ia  pun tidak menetap di sana, sebab pada tahun1945, ia pindah ke Inggris dan mengajar di London School of Economics.[2] Di London School of Economics ini ia diangkat menjadi professor pada tahun 1948, berkat karyanya yang anti Komunis berjudul The open Society and Its Enemies, yang ia buat tahun 1945.[3]

Tampaknya, Popper termasuk filsuf yang  beruntung karena hidup di masa Postmodern, ia mewarisi problem-problem filosofis para pendahulunya dan menjadi terakumulasi sedemikian rupa di dalam pemikirannya, terlebih setelah perkenalannya dengan Albert Einstein dan menyaksikan tergantikannya teori Newton dengan Relativismenya Einsten.[4] Peristiwa ini mampu membuka cakrawala baru bagi dirinya untuk membangun teori kritis.

Karl Popper menginggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di London Selatan akibat penyakit jantung.  Adapun beberapa karya tulisnya yang terbesar antara lain sebagai berikut: The Poverty of Historicism (1945); The Open Society and Its Enemies I dan II (1945); The Logic of Scientific Discovery (1959); Conjectures and Refutations: The Growt of Scientific Knowledge An Evolutionary Approach (1963); The Philosiphy of Karl Popper (1974); Unended Quest; dan The Self and Its Brain.

 

 

B.     Metode Induktif

Salah satu metode ilmiah dalam wacana saintifik adalah metode induksi. Secara historis, metode induksi sudah dimulai oleh Aristoteles. Ia menggunakan istilah induksi untuk mengacu ke proses pemikiran dimana akal budi manusia, dengan bertolak dari pengetahuan tentang hal-hal yang ‘khusus’, menyimpulkan pengetahuan yang ‘umum’.[5] Secara teknis, Aristoteles menguraikan dengan jelas setidaknya dua macam induksi, yang diistilahkan induksi sempurna (perfect) dan luas (ampliative).

Induksi sempurna (perfect) adalah menarik kesimpulan umum yang diambil berdasarkan pengetahuan tentang tiap contoh yang diteliti. Sedangkan induksi luas (ampliative) adalah menarik kesimpulan dari contoh-contoh sebagai sampel kelas dan memuat generalisasi dari sifat-sifat khas sampel itu ke sifat-sifatnya khas kelas.[6] Pada perkembangannya Aristoteles tidak memberi objek perhatian terhadap persoalan induksi dan justru mengembangkan metode deduksi sebagai jalan sempurna menuju ke pengetahuan baru.[7]

Namun, pada abad ke-17, Francis Bacon mengkritisi metode deduktif Aristoteles yang tidak menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru. Bagi Bacon, metode yang dicetuskan Aristoteles tidak sanggup menghasilkan penemuan- penemuan empiris. Ia mengatakan bahwa metode yang dicetuskan itu hanya dapat membantu mewujudkan konsekuensi deduktif daripada yang sebenarnya telah diketahui. Agar pengetahuan itu berkembang dan demi memperoleh pengetahuan yang benar-benar berguna, konkret, dan praktis, metode deduktif harus ditinggalkan dan  diganti dengan metode induktif. Bacon berhasil menemukan suatu metode induksi baru yang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan.[8]

Metode induksi adalah suatu metode atau suatu proses penyisihan atau pelenyapan, dengannya semua sifat, yang tidak termasuk sifat yang tunggal ditiadakan. Tujuannya ialah untuk memiliki sebagai sisanya sifat-sifat yang menonjol dalam fakta-fakta yang diamati. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Bacon ingin menemukan sifat panas. Ia memahami panas adalah gerakan-gerakan cepat yang tidak teratur dari bagian-bagian kecil benda-benda. Supaya sifat panas dapat ditemukan ia membuat daftar-daftar benda-benda panas dan benda-benda dingin dan juga benda-benda yang mempunyai tingkatan panas yang bermacam-macam. Ia berharap bahwa  daftar- daftar ini menampakkan beberapa corak watak panas yang senantiasa berada di dalam benda-benda panas, dan yang senantiasa tidak berada dalam benda-benda dingin serta yang senantiasa berada dalam benda-benda yang panasnya bermacam-macam tingkatannya.

Dengan metode ini, ia berharap menemukan hukum-hukum yang umum, yang (dengan pengujian-pengujian dalam keadaan-keadaan yang baru) dapat naik, dari hukum yang masih rendah tingkatannya menuju ke hukum yang tertinggi. Untuk melihat operasional metode induksi beserta syarat-syarat yang menyertainya, Thomas Henry Huxley mencontohkan sebagai berikut:     “Anggaplah kita mengunjungi warung buah-buahan karena ingin membeli apel. Kita ambil sebuah, dan ketika mencicipinya, terbukti itu masam. Kita perhatikan apel itu dan terbukti bahwa apel itu keras dan hijau. Kita ambil sebuah sebuah yang lain, itu pun keras, hijau dan masam. Si pedagang menawarkan apel ketiga. Akan tetapi, belum mencicipinya, kita memerhatikannya dan terbukti yang itu pun keras dan hijau, dan seketika itu kita diberitahukan, bahwa kita tidak menghendakinya, karena yang itu pun pasti masam, seperti lain-lainnya yang sudah kita cicipi”.

Jalan pikiran si calon pembeli sehingga ia sampai pada kesimpulan untuk tidak membeli apel, ialah sebuah induksi. Huxley menjelaskan proses induksi sebagai berikut: “Pertama-tama, kita telah melakukan kegiatan yang disebut induksi. Kita telah menemukan bahwa dalam dua kali pengalaman sifat keras dan hijau pada apel itu selalu bersama-sama dengan sifat masam. Demikianlah pada peristiwa yang pertama, dan itu diperkuat dalam peristiwa yang kedua. Memang itu dasar yang amat sempit, akan tetapi sudah cukup untuk dijadikan dasar induksi, kedua fakta itu bisa digeneralisasikan dan kita percaya akan berjumpa dengan rasa masam pada apel, bila kita temui sifat keras dan hijau. Dan ini suatu induksi yang tepat.[9]

Kalau dirumuskan secara formal, penalaran di atas menurut Huxley adalah demikian:

Apel 1 keras dan hijau adalah masam.

Apel 2 keras dan hijau adalah masam.

Semua apel keras dan hijau adalah masam.[10]

Induksi seperti di atas sesuai dengan definisi Aristoteles, yaitu proses peningkatan dari hal-hal yang bersifat individual kepada yang bersifat universal. Di situ premisnya berupa proporsi-proporsi singular, sedang konklusinya sebuah proposisi universal, yang berlaku secara umum. Maka induksi dalam bentuk ini disebut generalisasi. Akan tetapi, penalaran calon pembeli itu juga dapat dirumuskan dalam bentuk lain sebagai berikut:

Apel 1 keras dan hijau adalah masam.

Apel 2 keras dan hijau adalah masam.

Apel 3  keras dan hijau.

Apel 3 adalah masam.

Bentuk penalaran di atas juga suatu induksi, namanya analogi induktif. Untuk analogi induktif ini, mungkin batasan Aristoteles kurang mengena. Meskipun benar bahwa tidak mungkin apel 3 itu masam kalau tidak semua apel keras dan hijau itu masam, akan tetapi konklusi penalaran di atas bukan suatu proposisi universal, melainkan suatu proposisi singular.[11] Dari contoh dua jenis induksi di atas dapat diketahui ciri-ciri induksi sebagai berikut:

1. Premis-premis dari induksi ialah proposisi empirik yang langsung kembali kepada suatu observasi indra atau proposisi dasar. Proposisi dasar menunjuk kepada fakta, yaitu observasi yang dapat diuji kecocokannya dengan tangkapan indra. Pikiran tidak dapat mempersoalkan benar tidaknya fakta, akan tetapi hanya dapat menerimanya. Bahwa apel 1 itu keras, hijau dan masam, hanya indralah yang dapat menangkapnya. Sekali indra mengatakan demikian, pikiran tinggal menerimanya.

2. Konklusi penalaran induktif itu lebih luas daripada yang dinyatakan di dalam premis-premisnya. Premis-premisnya hanya mengatakan bahwa apel yang keras, hijau, dan masam itu hanya dua, apel 1 dan 2. Itulah yang diobservasi dan itulah yang dirumuskan di dalam premis-premis itu. Kalau dikatakan, bahwa juga apel 3 itu masam, hal itu tidak didukung oleh premis-premis penalaran. Menurut kaidah-kaidah logika, penalaran itu tidak shahih, pikiran tidak terikat untuk menerima kebenaran konklusinya.

3. Meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang normal akan menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk menolaknya. Jadi konklusi penalaran induktif itu oleh pikiran dapat dipercaya kebenarannya atau dengan perkataan lain, konklusi induksi itu memiliki kredibilitas rasional. Kredibilitas rasional adalah probabilitas. Probabilitas itu didukung oleh pengalaman, artinya konklusi induksi itu menurut pengalaman biasanya cocok dengan observasi indra, tidak mesti harus cocok.[12]

 

C.    Garis Demarkasi

Problem demarkasi dirumuskan oleh Popper sebagai problem mengenai bagaimana menemukan sebuah kriteria yang bisa membedakan ilmu-ilmu empiris dari matematika, logika  dan system-sistem metafisik.[13] Solusi Popper terhadap induksi ternyata membangkitkan cara pandang yang baru terhadap problem awalnya yakni, problem seputar kriteria demarkasi ilmiah yang tepat.

Kriteria verifiabilitas bukanlah suatu kriteria demarkasi ilmu, melainkan sebagai kriteria kemaknaannya. Bermakna tidaknya suatu pernyataan atau hipotesis ilmiah ditentukan oleh corak empiris positifnya. Logika induktif dan prinsip verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak bermakna sama sekali. Kriteria demarkasi dan logika induktif mengakibatkan terjadinya percampurbauran antara metafisika dan ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya dapat mengaburkan kedua-duanya.[14] Hal inilah yang membuat Karl Popper menentang gagasan dari lingkaran Wina dan membuat demarkasi lain dengan kriteria falsifikasi.

 

Solusi Popper tentang Problem Demarkasi

Popper hendak merumuskan sebuah kriteria demarkasi antara ilmu dan non ilmu (metafisika). Kriteria demarkasi yang digunakan oleh Popper adalah kriteria falsifiabilitas (kemampuan dan kemungkinan disalahkan atau disangkal). Setiap pernyataan ilmiah pada dasarnya mengandung kemampuan disangkal, jadi ilmu pengetahuan empiris harus bisa diuji secara deduktif dan terbuka kepada kemungkinan falsifikasi empiris. Contoh:

Akan terjadi atau tidak terjadi hujan di sini esok

Akan terjadi hujan di sini esok

Pernyataan (1) tidak bersifat empiris oleh karena tidak dapat disangkal. Sedangkan pernyataan (2) bersifat empiris karena dapat disangkal.

Kriteria demarkasi Popper didasarkan pada suatu asimetri logis antara verifiabilitas dan falsifiabilitas.[15] Pernyataan universal tidak bersumber dari pernyataan tunggal, tetapi sebaliknya bisa bertentangan dengannya. Dengan logika deduktif, maka generalisasi empiris atau pernyataan universal dapat diuji dan disangkal secara empiris, tetapi tidak dapat dibenarkan. Hal ini berarti bahwa hukum-hukum ilmiah pada dasarnya dapat diuji, kendatipun tidak dapat dibenarkan atau dibuktikan secara induktif.

Dari uraian di atas dapat disederhanakan sebagai berikut:

Problem demarkasi dirumuskan oleh Popper sebagai problem mengenai bagaimana menemukan sebuah kriteria yang bisa membedakan ilmu-ilmu empiris dari matematika, logika  dan sistem-sistem metafisik.[17] Solusi Popper terhadap induksi ternyata membangkitkan cara pandang yang baru terhadap problem awalnya yakni, problem seputar kriteria demarkasi ilmiah yang tepat.

Kriteria verifiabilitas bukanlah suatu kriteria demarkasi ilmu, melainkan sebagai kriteria kemaknaannya. Bermakna tidaknya suatu pernyataan atau hipotesis ilmiah ditentukan oleh corak empiris positifnya. Logika induktif dan prinsip verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak bermakna sama sekali. Kriteria demarkasi dan logika induktif mengakibatkan terjadinya percampurbauran antara metafisika dan ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya dapat mengaburkan kedua-duanya. Hal inilah yang membuat Karl Popper menentang gagasan dari lingkaran Wina dan membuat demarkasi lain dengan kriteria falsifikasi.

 

D.    Perspektif Tiga Dunia Karl Popper

Popper yang berasal dari Austria ini dan lebih banyak dikenal karena teori falsifikasinya (‘lawan’ teori verifikasi) itu membagi dunia menjadi tiga tingkatan:

a. Dunia 1,  yang berisi dunia fisik. Batu dan bintang adalah contohnya.

b. Dunia 2,  adalah dunia proses atau pengalaman. Kalau kita bicara tentang kegalauan, misalnya, itu ada di ‘dunia 2’. Baik pengalaman sadar dan tidak sadar juga masuk dalam dunia ini. Ini adalah dunia ‘pengalaman subjektif’. Semua proses berpikir yang bersifat konkret masuk ke dunia ini.

c. Dunia 3 adalah dunia yang berisi produk hasil pemikiran manusia. Contohnya: rumus matematika, teori, lagu, dan simponi. Semua konten hasil pemikiran yang bersifat abstrak masuk ke dalam dunia ini.

Lukisan adalah ‘dunia 3’ kalau dianggap sebagai konten hasil ‘pemikiran’ pelukisnya. Karenanya, Popper tidak setuju kalau lukisan dianggap sebagai ‘ekspresi diri’. Seharusnya bagi pelukis, yang lebih penting adalah lukisannya bukan dirinya.

Contoh lain: Sebuah buku, secara fisik adalah ‘dunia 1’, tetapi pemikiran yang ada di dalamnya adalah ‘dunia 3’. ‘Dunia  3’ di sini ‘diperangkap’ di ‘dunia 1’. Bisa jadi ‘dunia 3’ yang sama dapat terperangkap dalam ‘dunia 1’ yang berbeda, seperti buku dengan isi yang sama diterbitkan dalam sampul dan ukuran yang berbeda. Ketika kita membakar buku tersebut, maka ‘dunia 1’ akan musnah, tetapi ‘dunia 3’, ide yang dikandung buku masih dalam otak penulis, dan dapat berpindah ke dalam ‘dunia 2’ ketika seseorang membaca buku tersebut. Ketika seseorang membaca sebuah tulisan di sumber yang lain, mungkin akan berkomentar, “Kethoke masalah ini sudah dibahas di buku itu deh“. Ini adalah ‘dunia 2’, dunia pengalaman subjektif. Kita juga bisa berkomentar, “Buku ini lebih bagus daripada buku itu”. Kini kita masuk ke‘dunia 3’.

Dari penjelasan di atas, pandangan tiga dunia Karl Popper dapat disederhanakan sebagai berikut:

Dunia 1

Kenyataan dunia fisis

Objektivisme kasar

Dunia 2

Kenyataan psikis dalam diri manusia

Subjektivisme semata

Dunia 3

Sintesa objektivisme dan subjektivisme

Hipotesa, hukum, teori ciptaan manusia.

Hasil kerja sama antara dunia 1 dan dunia 2

Seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisika, agama, dll.

Dunia 3

Dunia 3 hanya ada ketika dihayati, yakni dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri para seniman, dan penggemar seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka.

Sesudah penghayatan, semuanya mengendap menjadi bentuk-bentuk fisik (dunia 1).

Ketika manusia menggauli dunia 3 dan dunia 1, manusia membangkitkan kembali dan mengembangkan kemampuan psikisnya dalam dunia 2 lalu menghasilkan dunia 3, begitu seterusnya.

 

E.     Falsifikasi

Dalam konteks penolakan terhadap induktivisme para pendukung teori falsifikasi menyatakan bahwa setiap penelitian ilmiah dituntun oleh teori tertentu yang mendahuluinya. Karena itu, semua keyakinan bahwa kebenaran teori-teori ilmiah dicapai melalui kepastian hasil observasi, sungguh-sungguh ditolak. Teori merupakan hasil rekayasa intelek manusia yang kreatif dan bebas untuk mengatasi problem-problem yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Teori-teori itu kemudian diuji dengan eksperimen-eksperimen atau observasi-observasi. Terori yang tidak dapat bertahan terhadap suatu eksperimen harus dinyatakan gagal dan digantikan oleh teori spekulatif lain. Itu berarti, ilmu pengetahuan berkembang melalui kesalahan dan kekeliruan, melalui hipotesis dan refutasi.

Menurut teori falsifikasi, ada teori yang dapat dibuktikan salah berdasarkan hasil observasi dan eksperimen. Ilmu pengetahuan tidak lain dari rangkaian hipotesis-hipotesis yang dikemukakan secara tentatif untuk menjelaskan tingkah laku manusia atau kenyataan dalam alam semesta. Tetapi tidak setiap hipotesis dapat begitu saja diklasifikasikan di bawah ilmu pengetahuan. Hipotesis yang layak disebut sebagai teori atau hukum ilmiah harus memenuhi syarat fundamental berikut: hipotesis itu harus terbuka terhadap kemungkinan falsifikasi.

Contoh:

1.    Tidak pernah turun hujan pada hari-hari Rabu

2.    Semua substansi akan memuai jika dipanaskan

       Pernyataan (1) dapat difalsifikasikan karena dengan suatu observasi kita dapat menunjukkan bahwa pada hari Rabu terntentu ada hujan. Pernyataan (2) pun dapat difalsifikasi karena melalui observasi kita dapat memperlihatkan bahwa ada substansi tertentu tidak memuai jika dipanaskan.

        Pernyataan berikut ini tidak memenuhi syarat yang dikemukakan oleh Popper dan konsekuensinya tidak dapat difalsifikasikan:

1.        Baik pada hari hujan maupun tidak hujan saya datang

Tidak ada suatu pernyataan observasi yang secara logis dapat menyangkal pernyataan (1). Pernyataan ini benar, bagaimanapun keadaan cuaca. Pernyataan di atas ini tidak dapat difalsifikasikan, sebab semua kemungkinan yang akan terjadi atau diturunkan dari pernyataan di atas, tetap benar.

Falsifikasi merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak gagasan dari lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan penolakan Popper ini, karena dalam rangkah membedakan ilmu yang bermakna dan tidak bermakna masih menjunjung tinggi induksi.[16] Beberapa kritik yang dikemukakan Popper terhadap prinsip verifikasi.

Pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Menurut Popper, hukum-hukum umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum tidak bermakna, sama seperti metafisika).

Kedua, sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan juga lahir dari pandangan-pandangan metafisis. Karena itu Popper menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah setelah diuji.

Ketiga, untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih dulu harus kita mengerti ucapan atau teori itu. Solusi yang diberikan oleh Popper terhadap problem induksi ternyata mengarahkan perhatiannya secara lebih serius kepada problem demarkasi, atau problem batas antara pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan yang bukan ilmiah.Untuk itu pada bagain ini, penulis terlebih dahulu mengangkat problem demarkasi ini sebagai titik tolak dari falsifikasi Popper.

Metode falsifikasi sederhana saja dengan observasi terhadap angsa-angsa putih, betapapun besar jumlahnya, orang tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali observasi terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal pendapat tadi.” Jadi, dengan pembuktian seperti itulah sebuah hukum ilmiah berlaku. Bahwa bukan apakah suatu hukum ilmiah dapat dibenarkan melainkan dapat dibuktikan salah.

 

F.     Kritik terhadap Falsifikasi Karl Popper

Pandangan falsifikasionis Popper ini juga tidak lepas dari kritik dari tokoh-tokoh yang datang sesudahnya. Imre Lakatos (1974) mengkritik prinsip falsifikasi Popper yang sangat menentang penerapan induksi dalam metode ilmu pengetahuan. Metodologi atau logika penemuan ilmiah yang dikembangkan Popper dalam bukunya Logic of Scientific Discovery hanya terdiri dari aturan untuk menilai sebuah teori yang sudah dirumuskan,  dimana dalam pandangan Popper tersebut ditegaskan bahwa teori ilmiah tidak didasarkan atau dikukuhkan oleh fakta melainkan dirontokkan olehnya (Mungkasa, 2002 : 6). Taryadi (1991: 67) menilai bahwa metodologi yang dikembangkan oleh popper  hanya terdiri dari aturan-aturan untuk menilai teori-teori yang sudah dirumuskannya sendiri. Metodologi itu berdiri di atas kaki sendiri, dikejar demi dirinya sendiri. Istilah benar dan salah dihindarkan. Ilmu hanya bisa ditemukan kekeliruannya. Akibatnya Popper sendiri tidak bisa menjawab pertanyaan apa yang bisa diperoleh dalam aturan permainan ilmu atau metodologi.

Memang Popper telah mengajukan gagasan tentang verisimilitude, yakni kondisi membandingkan antara truth-content dengan falsity-content, dimana dengan gagasan ini ia menunjukkan adanya kemungkinan kemajuan ilmu pengetahuan bahkan ketika verisimilitude -nya bertambah ilmu pengetahuan pun masih ada kemungkinan untuk maju. Karena di dalamnya seseorang masih memungkinkan untuk memilih teori kedua yang masih mengandung truth-content daripada memilih teori pertama yang memiliki tingkat falsity-content lebih besar (Taryadi, 1991 : 79).

Kuhn juga mengkritik Popper yang berpendapat bahwa aktivitas-aktivitas ilmiah berpusat pada falsifikasi atau menguji teori; kemudian, dengan berpegang pada pernyataan-pernyataan observasi seorang ilmuwan bertugas menguji semua teori atau hipotesis. Kuhn mengkritik karena menurutnya, para ilmuwan yang berkecimpung dalam “normal science” bukan lagi sebagai penguji teori tetapi sebagai pemecah masalah dan kesulitan hidup. Dalam kemapaman paradigma itu tidak ada lagi pertentangan antara paradigma. Karena paradigma yang telah diterima dipakai sebagai landasan dan pedoman untuk praksis kehidupan (Chalmers, 1983: 96). Ia menganggap bahwa Popper telah memutarbalikkan kenyataan dengan menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis disusul upaya falsifikasi (Chalmers, 1983: 100-103). Menurutnya, terjadinya perubahan-perubahan hanya berlangsung melalui revolusi-revolusi ilmiah, yakni “Segala perkembangan nonkumulatif di mana paradigma yang telebih dahulu ada diganti dengan tak terdamaikan lagi, keseluruhan ataupun sebagian, dengan yang baru” (Chalmers, 1983 : 103).

 G.    Relevansi Falsifikasi dalam Pendidikan Bahasa Arab

Bila prinsip falsifikasi Popper diterapkan pada kajian terhadap pemikiran para sarjana Muslim tentang teks al-Qur’an atau al-Hadits yang berhubungan dengan sains, serta teori bahasa, atau tentang pemikiran mereka tentang konsep-konsep agama, maka aplikasi metode falsifikasi Popper ini sangat mungkin dilakukan. Dengan tanpa melihat objek materiil kajian keilmuan yang akan dilakukan para ulama, kita bisa melihat semangat keilmuan yang dikandung oleh pemikiran Popper ini, bahwa sebuah teori bukanlah kebenaran. Teori masih membutuhkan pengkajian lebih jauh untuk menemukan kelemahan-kelemahan di dalamnya untuk kemudian dibangun sebuah penyempurnaan. Sikap dogmatis pada sebuah teori tertentu akan membawa ilmuwan pada  kematian ilmu pengetahuan. Sekali lagi, Popper mengatakan bahwa predikat terbaik yang bisa dicapai oleh sebuah teori adalah mendekati kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Conjecture dan falsification adalah tawaran Popper pada ilmu pengetahuan untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari kematian dini.

Dalam Pendidikan Bahasa Arab, falsifikasi dapat dicontohkan sebagai berikut:

Ketika dalam suatu kelas, kelas 8A. Di dalam kelas tersebut ada 30 anak Sebagian besar dari mereka banyak anak yang pintar. Nah, dari sana kita dapat melihat bahwasanya sebagian besar anak kelas 8A adalah anak yang Pintar. Dari pernyataan umum tersebut dapat difalsifikasikan  bahwa ada anak yang kurang pintar berbahasa Arab di kelas 8A. Artinya dari 30 anak di kelas 8A ada anak yang kurang pintar berbahasa Arab. Nah, untuk mengetahui berapa anak yang kurang pintar berbahasa Arab itu dapat dilakukan pencarian bukti dengan melakukan penelitian di kelas tersebut. Atau bisa jadi dari beberapa anak kurang pintar berbahasa Arab tadi memang yang berbakat di bidang olahraga, kesenian, atau matematika, hal ini sesuai dengan teori kecerdasan majemuk milik Howard Gardner.

 

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

 A.      Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan dan rumusan masalah yang telah dijawab dalam pembahasan ini, maka disebutkan beberapa kesimpulan di bawah ini:

1.      Karl Raimund Popper adalah tokoh popular dalam aliran falsifikasi.

2.      Metode induktif adalah sebuah mentode dari statement singular atau tunggal ke statement general atau umum.

3.      Garis demarkasi adalah garis pemisah antara bidang ilmiah dan bidang non ilmiah, antara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan.

4.      Tiga Dunia Karl Popper yaitu,

a.       Dunia 1 adalah dunia fisik

b.      Dunia 2 adalah dunia pengalaman.

c.       Dunia 3 adalah dunia produk pemikiran.

5.      Falsifikasi adalah penarikan sebuah kesimpulan dari sebuah kesalahan.

6.      Menurut Popper setiap teori ilmiah selalu hanya bersifat hipotetis, yakni berupa dugaan sementara (conjecture), tidak akan pernah ada kebenaran final. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori baru yang lebih tepat.

7.      Relevansi falsifikasi dalam dunia pendidikan yakni dengan menghubungkan teori falsikasi dalam dunia pendidikan. Dan untuk mencari kebenaran dari statement falsifikasi dilakukan pencarian bukti yang mendukung akan statement falsifikasi tersebut.

B.     Saran

Berdasarkan hasil penemuan yang telah diuraikan panjang lebar di atas, maka ada beberapa hal yang perlu direkomendasikan pada berbagai pihak, di antaranya adalah:

  1. Bagi Mahasiswa sebaiknya lebih mendalami ilmu filsafat terutama falsifikasi, karena pemikir ilmu bahasa bisa muncul dari dalam ilmu ini.


DAFTAR PUSTAKA

 

 

Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat Jakarta. Gramedia.

Bertens, K.2002. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia

Chalmers,   A.F.,  1983. What  is  This  Thing  Called  Science  (Apa  itu  yang Dinamakan Ilmu), terj. Redaksi hasta Karya, Jakarta : Hasta Karya,

Crowther, Jonathan. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. New York: Oxford University Press

Edward, Paul (ed). 1967. The Encyclopedia of Philosophy, vol. V. New York, London : Mcmillan Publishing Co. Inc. and The Free Press.

Hidayat, Komarudin. 2003. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Bandung: Teraju Mizan

Kattsoft, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana

Macintyre, A. 1967. The Encyclopedia of Philosophy. New York: The Macmilan Company and The Free Press

Popper, Karl. 1969. Conjectures and Refutations; The Growth of Scientific Knowledge. London: Routledge and Kegan Paul

Popper, Karl. 1968. The Logic of Scientific Discovery. London: Hutchinson

Taryadi,  Alfons, 1991. Epistemologi  Pemecahan  Masalah  Menurut  Karl Popper,

Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sibawaihi. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga

 



[1] Muslih, Mohammad. 2005. Filsafat Ilmu. LESFI. Yogyakarta. Hal 105.

[2] Edward, Paul (ed). 1967. The Encyclopedia of Philosophy, vol. V. New York, London : Mcmillan Publishing Co. Inc. and The Free Press. Hal 398

[3] Muslih, Mohammad. 2005. Filsafat Ilmu. LESFI. Yogyakarta. Hal 105.

[4] Popper, Karl. 1968. The Logic of Scientific Discovery. London: Hutchinson. Hal 292

[5] Karl R.Popper, The Logic of Scientific Discovery (New York: Routledge, 2005),hlm.xix.

[6] Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.342.

[7] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, op.cit., hlm.169.

[8] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.113-114.

[9] R. G. Soekadijo, Logika Dasar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm.131.

[10] Ibid.

[11] Ibid.,hlm. 132-133.

[12] Ibid., hlm. 132-133.

[13] J.A.Ufi. Metodologi Problem Solving dalam Pandangan Karl R. Popper ( Skripsi S-1 STF Seminari Pineleng, Manado, 1998), hlm.32.

[14] K.R. Popper, “The Logic of Scientific Discovery (New York: Basic Books, 1959) hlm 34.

[15] Ibid. hal 34.

[16] Ibid Hal 56




EmoticonEmoticon