HUBUNGAN BAHASA DENGAN KONDISI GEGOGRAFI SERTA KONFLIK BAHASA
Untuk memenuhi
tugas matakuliah
Linguistik
yang dibina oleh
Ibu Dr. Nurul Hanani, M.Pd
Oleh
Puguh Ari Wicaksono
928.005.18.010
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PASCASARJANA INSTITUT ISLAM NEGERI KEDIRI
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa dalam kehidupan
manusia adalah sangat penting untuk berkomunikasi. Sebab, dengan adanya bahasa
komunikasi antara manusia menjadi mudah. Namun tidak bisa pungkiri bahwa dalam
setiap bahasa ada dialek yang berkaitan erat dengan letak geografi manusia
setempat.
Sementara itu, perpindahan dan mobilisasi
penduduk akan mempengaruhi kepada perkembangan penggunaan bahasa, seperti
adanya kedwibahasaan, yang dimulai ketika perpindahan penduduk itu melakukan
kontak dengan penduduk pribumi, kemudian pihak yang satu mempelajari bahasa
penduduk lainnya dengan alasan untuk memperlancar proses komunikasi sehingga
terjadilah penggunaan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa penduduk pribumi dan
bahasa pendatang, dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan lebih dari satu
bahasa itu akan menimbulkan pertarungan (konflik) Bahasa, hal ini disebabkan
ketika salah satu dari dua bahasa itu memberikan pengaruh dominan terhadap
bahasa lainnya, adanya ketidak seimbangan dalam penggunaan dua bahasa tersebut,
dimana salah satu bahasa mengalahkan bahasa lainnya, atau sebaliknya, bahkan
bukan saja antara bahasa, tetapi antara si penutur bahasa dengan komunitas
bahasa itu sendiri, hal ini yang mendorong terjadinya konflik (perseteruan)
Bahasa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
- Apa yang dimaksud dengan dialektologi?
- Apa hubungan dialektologi
dengan geografi?
- Apa yang dimaksud dengan
konflik bahasa?
C. Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan
sebagai berikut:
- Untuk mengetahui konsep dialektologi.
- Untuk mengetahui hubungan
antara dialektologi dengan geografi.
- Untuk mengetahui konsep
konflik bahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah
dialektologi berasal dari kata dialect dan kata logi. Kata dialect berasal dari
bahasa Yunani dialektos. Kata dialektos digunakan untuk menunjuk pada keadaan
bahasa di Yunani yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa
yang mereka gunakan. Adapun kata logi berasal dari bahasa Yunani logos,yang
berarti ‘ilmu’. Gabungan dari kedua kata ini berserta artinya membawa
pengertian dialektologi sebagai ilmu yang memepelajari suatu dialek saja dari
suatu bahasa dan dapat pula mempelajari dialek-dialek yang ada dalam suatu
bahasa.
Berdasarkan
kelompok pemakaiannya, dialek dapat dibagi atas tiga jenis, yakni: (1) dialek
regional, yaitu variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal (tempat) dalam suatu
wilayah bahasa; (2) dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh
golonga tertentu; dan (3) dialek temporal, yaitu variasi bahasa yang digunakan
oleh kelompok bahasawan yang hidup pada waktu tertentu. Pendapat yang lazim
tentang dialek sebgaaimana dikemukakan dengan pemahaman yang dianut dalam
rangkaian pembicaraan dialektologi, menurut pandangan dialektologi, semua
dialek dari suatu bahasa mempunyai kedudukan yang sederajat, statusnya sama,
tidak ada dialek yang lebuh berprestise dan tidak berprestise. Tidak ada juga
sebutan bahwa dialek yang digunakan itu kampungan, meskipun penuturnya berasal
dari desa. Semua dialek dari sebuah bahasa itu sama. Dialek-dialek tersebut
menjadikan fungsinya masing-masing dalam kelompok-kelompok masyarakat
penuturnya. Dialek standar juga merupakan dialek bahasa, sama dengan dialek
lainnya. Hanya karena faktor ekstralinguistik, dialek ini dianggap sebagai
dialek yang berprestise (lihat juga Fernandez, 1993:6)
Disamping istilah
dialek, dikenal pula istilah isolek, idiolek, dan aksen. Istilah isolek
merupakan istilah netral yang dapat digunakan untuk menunjuk pada bahasa,
dialek, atau subdialek. Yang dimaksud dengan idiolek adalah ciri khas berbahasa
seseorang karena setiap orang memiliki ciri khas dalam bertutur. Selanjutnya,
istilah aksen digunakan untuk menunjuk pada cara penutur mengucapkan bunyi
bahasa.
B. Ruang Lingkup
Dialek
Dialektologi
merupakan cabang linguistik yang mempelajari variasi bahasa. Yang dimaksud
dengan variasi bahasa adalah perbedaan-perbedaan bentuk yang terdapat dalam
suatu bahasa. Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup semua unsure kebahasaan,
yaitu fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan semantik.
Dalam bidang
fonologi, perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan bunyi (lafal) dan dapat
pula berupa perbedaan fonem. Dalam bidang
morfologi perbedaan tersebut dapat berupa afiks (prefiks, infiks, sufiks, dan
konfiks), pronominal, atau kata penunjuk. Dalam bidang sintaksis, perbedaan itu
berupa struktur kalimat atau struktur frasa. Dan dalam bidang semantik,
perbedaan itu berupa makna, tetapi makna tersebut masih berhubungan atau masih
mempunyai pertalian, makna yang digunakan pada titik pengamatan tertentu dengan
makna yang digunakan pada titi pengamatan yang lainnya masih berhubungan.
Pembeda Dialek
Pembeda dialek
terdiri dari lima macam perbedaan, yaitu :
·
Perbedaan fonetik : perbedaan ini berada dibidang
fonelogi dan biasanya pemakai dialek/ bahasa yang bersangkutan tidak menyadari
adanya perbedaan tersebut.
·
Perbedaan semantik: dengan terciptanya kata-kata
baru berdasarkan perubahan fonologi dan geseran bentuk.
·
Perbedaan onomasiologis : menunjukkan nama yang
berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan dibeberapa tempat yang berbeda.
·
Perbedaan semasiologis : pemberian nama yang sama
untuk beberapa konsep yang berbeda.
·
Perbedaan morfologis : terciptanya inovasi bahasa.
C. Sumber Penelitian
Dialektologi
1.
Sumber Lisan.
Sumber bahasa lisan tersimpan di dalam khazanahnya, yaitu diri
para pemakai bahasa dan dialek. Sumber itu berupa bahasa atau dialek itu
sendiri maupun hal-hal yang terkandung di dalamnya, seperti cerita rakyat, adat
istiadat, kepercayaan, dan perundangan (Guiraud, 1970: 41).
2.
Sumber Tulis.
Sumber tulis dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Naskah
Pada mulanya naskah merupakan satu-satunya sumber untuk kurun
waktu sebelum dikenalnya kamus dan kitab bahasa, apalagi yang cukup bernilai
sastra dan ditulis di dalam bahasa atau dialek yang berbeda (Guiraud, 1970:
43). Dalam penelitiannya, naskah dilihat berdasarkan asal usulnya dan
menampilkan masalah yang istimewa sesuai dengan umur, nilai, dan pemakaian
bahasanya. Bahasan mengenai naskah-naskah kono merupakan sumbangan yang sangat
penting artinya untuk penelitian geografi dialek.
b.
Kamus dan Atlas Bahasa.
Kamus dialek atau bahasa merupakan sumber keterangan yang utama di
dalam penelitian dialek. Hal ini dapat terjadi, karena hal-hal yang kurang
jelas dari bahan yang terkumpul seringkali dapat dijelaskan dengan pertolongan
kamus dialek atau bahasa yang sudah ada.
D. Ragam – ragam
Dialek
Secara umum dialek
dapat digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Dialek 1
Dialek 1 yaitu
dialek yang berbeda-beda karena keadaan alam sekitar tempat dialek tersebut
dipergunakan sepanjang perkembangannya (Warnant, 1973: 101). Dialek ini
dihasilkan karena adanya dua factor yang saling melengkapi, yaitu factor waktu
dan factor tempat.
2. Dialek 2
Dialek 2 adalah
bahasa yang dipergunakan di luar daerah pemakaiannya (Warnant, 1973: 102).
Dialek ini sering juga disebut sebagai dialek regional atau enclave.
3. Dialek Sosial
Dialek sosial
ialah ragam bahasa yang dipergunakan oleh kelompok tertentu, yang dengan
demikian membedakannya dengan kelompok masyarakat lainya (Kridalaksana, 1970).
Ragam dialek sosial yang memperlihatkan ciri-ciri yang sangat khusus dikenal
dengan nama argot atau slang.
E. Dialektologi dan
Geografi
Sebagai disiplin
ilmu yang mengkaji perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang berkaitan dengan
geografis, yang salah satu aspek kajiannya adalah pemetaan perbedaan
unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di antara daerah-daerah pengamatan dalam
penelitian, maka dialektologi dalam kajiannya membutuhkan pengetahuan yang
berkaitan dengan bidang ilmu geografi (Mahsun, 1995:20).
Namun perlu
ditekankan di sini bahwa fungsi pemetaan adalah sebagi alat memvisualisasikan
letak geografis yang menjadi tempat digunakan suatu bentuk bahasa tertentu.
Dilihat dari fungsi pemetaan dalam pengertian di atas, mungkin dapat dikatakan
bahwa hal-hal yang berkaitan dengan bidang ilmu geografi tidak terlalu penting
dalam kajian dialektologi, karena kita
dapat saja menyebutkan suatu bentuk penggunaan unsur-unsur kebahasaan tertentu,
yang berbeda dengan unsur-unsur kebahasaan yang lainnya dalam menyatakan hal
yang sama, yang digunakan pada daerah pengamatan tertentu dengan menyebut nama
yang diberikan pada daerah satuan pengamatan, seperti desa A, B, C dan
lain-lain atau dusun A, B, C dan lain-lain sesuai dengan tingkat (secara
administratif) satuan daerah pengamatannya : desa, dusun, dan lain-lain; dengan
tanpa merujuk posisi daerah di dalam peta. Namun dengan penyebutan bahwa suatu
bentuk bahasa tertentu digunakn pada daerah pengamatan tertentu yang berbeda
dengan daerah pengamatan lainnya, padahal untuk menyatakan makna yang sama jelas-jelas mengacu kepada
dimensi geografis. Oleh karena itu, kirannya di sinilah letak hubungan yang
erat antarakajian dialektologi dengan bidang ilmu geografi.
Sesuai dengan
objek kajiannya yang berupa perbedaan unsur-unsur kebahasaan karena faktor
spasial (geografis), maka peta bahasa dalam dialektologi, khususnya dialek
geografis memiliki peran yang cukup penting. Peran itu berkaitan dengan upaya
memvisualisasikan data lapangan ke dalam bentuk peta, agar data itu tergambar
dalam perspektif yang bersifat geografis serta memvisualisasikan
pernyatan-pernyataan umum yang dihasilkan berdasarkan distribusi geografis
perbedaan-perbedaan (unsur kebahasaan) yang lebih dominan dari wilayah ke
wilayah yang dipetakan.
Perlu ditekankan
di sini, peran peta sebagai alat visualisasi dimaksudkan bahwa dengan peta itu
dapat diamati secara kasat mata distribusi geografis mengenai hal-hal yang
menjadi isi peta peragan dan peta penafsiran.
F. Perbedaan Bahasa
dengan Dialek
Dalam paparan di
atas dialektologi mempelajari dialek-dialek, dan pengertian dialek di sini
adalah bahasa sekelompok masyarakat yang tinggal disuatu daerah tertentu.
Perbedaan dialek di dalam suatu bahasa ditentukan oleh letak geografis atau
region kelompok pemakainya. Karena itu dialek itu disebut dialek geografis atau
dialek regional. Batas-batas alam seperti sungai, gunung, laut, hutan dan
semacamnya membatasi dialek yang satu dengan dialek lain.
Ragam bahasa
dialek regional dapat dibedakan secara cukup jelas dengan dialek regional yang lain. Batas perbedaan itu bertepatan
dengan batas-batas alam seperti laut, sungai, gunung, jalan raya, hutan dan
sebagainya. Atau mungkin batas itu ditentukan berdasarkan ketentuan politik
atau administrasi pemeintahan. Secara linguistik dapat dikatakan, jika dua
dialek regional berdampingan, didekat perbatasan itu bisa jadi kedua unsur
dialek itu akan ‘bercampur’. Semakin jauh dari batas itu, perbedaan itu semakin
besar sekurang-kurangnya hal itu benar pada beberapa situasi. Misalnya di
Wilayah Denpasar dan sekitarnya, yang secara geografis terletak di antara
wilayah Gianyar-Klungkung dan Tabanan, sering terdengar lafal fonem yang berkisar
antara bunyi /i/ dan / a/ itu.
Barangkali jarak geografis inilah salah satu factor yang menyebabkan
terpecahnya suatu bahasa menjadi sekian banyak bahasa. Setidaknya batas alam
itu makin mengokohkan status bahasa yang tadinya mungkin hanya berupa dialek
saja. Ini mungkin terjadi pada apa yang sekarang kita sebut bahasa Indonesia,
bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Madura.
Karena paham
dialek di sini adalah bagian dari suatu bahasa, timbul faham lanjutan yang
mengatakan, pemakai suatu dialek bisa mengerti dialek lain. Dengan kata lain
ciri penting suatu dialek ialah adanya kesalingmengertian (mutual intelligible). Misalnya sebuah bahasa A mempunyai dialek A1 dan
A2. Untuk dapat dikatakan dialek, pemakai A1 harus mengerti jika pemakai A2 menggunakan
A2, begitu pula sebaliknya. Jika anda dari Tabanan (Bali) berbicara dalam
bahasa Bali model Tabanan, terhadap
teman anda dari singaraja yang memakai bahasa Bali model Singaraja, sementara
anda dan teman anda saling mengerti dan memahami, bisa dikatakan, bahasa yang
dipakai ‘dialek’ dari bahasa ‘Bali’. Jika demikian andaikata ada sekelompok
individu tinggal diwilayah Q dengan bahasa L dan mereka tidak saling mengerti (mutual unintelligible) akan bahasa yang digunakan oleh kelompok lain,
K dan L masing-masing adalah bahasa yang berdiri sendiri (Sumarsono dan Paina,
2004:22).
Masalah yang
timbul sekarang, dengan adanya keadaan berikut ; Apa yang disebut oleh orang
awam dialek tertentu ternyata tidak dipahami oleh pemakai dialek yang lain.
Misalnya masyarakat Jawa umumnya mengaku bahwa bahasanya, Jawa, terdiri dari
beberapa dialek, antara lain dialek Bagelan (di daerah Jawa Tengah bagian
selatan), dialek Solo-Yogya, dialek Jawa Timur (Surabaya, Malang, Mojokerto,
Pasuruan), dialek osing (Banyuwangi). Tetapi sebagian masyarakat dialek osing
tidak mengerti dialek Bagelan, begitu pula sebaliknya. Karena tidak ada unsur
“saling mengerti’ ini, apakah variasi
bahasa yang berdialek Bagelan dan yang berdialek Bagelan Osing masih boleh disebut dua dialek dari satu
bahasa hal yang sama kita jumpai pada bahasa Bali yang mengakui adanya
dialek Buleleng (Singaraja), dialek
Tabanan, dialek Tenganan, bahkan konon mereka juga tidak mengerti dialek
Sembiran (sekitar 25 km dari singaraja, arah ke timur yang masih sekabupaten
dengan dialek Buleleng).
Sebaliknya ada
keadaan : dua kelompok masyarakat yang berbeda bahasa ternyat bisa saling
mengerti meskipun mereka menggunakan bahasa sendiri-sendiri. Contoh yang dapat
diambil adalah keadaan di perbatasan negeri Belanda dan Jerman. Jika orang
Belanda berhubungan dengan ‘tetangga’, yang bersuku bangsa Jerman, dan
berbahasa Jerman, dan orang Belanda berbahasa Belanda mereka dapat saling
mengetahui. Dalam menyambut pembicaraan orang Belanda, orang Jerman menggunakan
bahasa Jerman, dan orang Belanda pun mengerti. Hal yang sama terjadi di pantai
utara Jawa Timur (Pasuruan, Probolingga, Besuki dan Bondowoso) tempat orang
Jawa menggunakan bahasa Jawa dan orang Madura menggunakan bahasa Madura, dan
mereka saling mengerti, begitu pula di Gilimanuk antara orang Bali dengan orang
Jawa, di Indramayu antara orang Jawa dengan orang Sunda.
Ciri yang cukup
masuk akal adalah ciri sejarah, dalam arti apakah X dan Y itu dua dialek atau
dua bahasa, sedikit banyak tergantung pada hubungan sejarah keduanya. Sejarah
menentukan X adalah bahasa Jerman dan Y adalah bahasa Belanda. Di tempat lain X
adalah ‘dialek’ Buleleng dan Y adalah ‘dialek’ Sembiran. Dalam halini tampak
juga cirri kesetiaan akan adanya hubungan antara dua dialek atau antara sebuah dialek
dengan ‘induknya’. Di Jawa Barat yang mayoritas penutur berbahasa Sunda, ada
sekelompok masyarakat Jawa di Banten yang bahasannya disebut dialek Jawa
Banten, bukan bahasa Banten. Perjalanan sejarah tidak menghilangkan ‘kesetiaan’
akan induk bahasannya yang ada di Jawa Tengah, sebaliknya, dialek-dialek lain
di Jawa Tengah dan di Jawa timur juga mempunyai kesetiaan bahwa yang di Banten
adalah ‘keluarga’ nya. Begitu pula, misalnya orang tetap menamakan bahasa
Indonesia dialek Jakarta, bukan bahasa Jakarta, karena ada kesetiaan akan nama
induk bahasanya, yaitu Indonesia.
G. Pengertian
Pertarungan (Konflik) Bahasa
Ahli Sosiologi,
dalam menghadapi masalah-masalah hubungan antara kelompok suku bangsa dan
bahasa mendefinisikan Pertarungan (Konflik) Bahasa sebagai kompetisi yang
meliputi pertentangan-pertentangan yang nyata antara dua atau beberapa bahasa
pada kelompok etnis bangsa tertentu, dengan mempunyai tujuan yang berbeda dalam
mempertahankan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai tanpa adanya sifat
netral, masing-masing kelompok etnis itu saling membela dan memberikan
perhatian terhadap prestasi, jabatan dan kekuatan kebijakannya.
Kebanyakan
hubungan antara kelompok-kelompok suku bangsa sering tidak terjadi kedamaian
dan keharmonisan, dimana seharusnya dalam komunitas hidup bersama itu hidup
berdampingan dan rukun, malahan masing–masing mereka mempertontonkan bermacam
keegoisan, kemarahan dan perbedaan opini, dimana dalam kerangka hidup sosial
merupakan ciri khas dari setip kompetisi.
Seperti telah
diketahui secara umum bahwa dalam kondisi nyata, ketegangan-ketegangan dan
persaingan- persaingan itu dapat berakibat buruk kepada timbulnya konflik hebat
yang berakhir kepada kekerasan, bagaimanapun seharusnya fakta yang terjadi
bahwa diantara kelompok suku bangsa itu hidup bersama dengan damai. Asumsi dari
beberapa ahli sosiologi bahwa ketidakharmonisan hubungan antara suku bangsa
tersebut, tak terelakan lagi akan menimbulkan konflik yang hebat yang
diakibatkan oleh perbedaan status dan ketidakpastian kelompok– kelompok
tersebut.
Model konflik ini
sering muncul sebagai sebuah konflik nilai, dimana perbedaan norma yang
hubungannya dengan tingkah laku yang saling bertentangan itu, biasanya hanya
satu norma yang bisa dipertimbangkan menjadi valid. Konflik antara kelompok
suku bangsa, bagaimanapun sangat jarang terjadi konflik kekerasan yang terjadi
secara terbuka, dan selalu terdiri dari sebuah sistem yang sederhana dari
perjanjian-perjanjian dan sanksi-sanksi yang tertanam dan berharga dari suatu
kelompok yang membahayakan. Konflik itu bisa meningkat dengan relatif mudah,
jika suatu kepentingan dan nilai itu memiliki dasar emosional.
Besar dan
perkembangan suatu konflik tergantung kepada sejumlah faktor-faktor yang
ditentukan oleh tingkat perselisihan antara dua atau lebih dari kelompok suatu
bangsa itu, adanya persamaan atau pengurangan unsur- unsur tertentu dan tingkat
ketidakpastian dari semua pelaku konflik tersebut. Jadi disatu sisi, penjelasan
konflik itu atau sesuatu yang didasarkan pada prasangka yang tidak masuk akal,
akan mengalami kegagalan.
Disamping ahli
Sosiologi, Sarjana politik juga menganggap bahwa kontak bahasa dapat
menimbulkan konflik politik. Pertarungan (Konflik) bahasa bisa menimbulkan
perubahan meluasnya sistem sosial ketika ada kontak antara kelompok – kelompok
bahasa yang berbeda. Contohnya antara Belgia, Prancis dan Kanada. Situasi ini
terjadi sebagai berikut: suatu kelompok bahasa yang dominan seperti bahasa
Prancis di Belgia, bahasa Inggris di Kanada mengatur kekuasaan penting dalam
bidang administrasi, politik dan ekonomi, dan akan memberikan pilihan pekerjaan
bagi pencari kerja yang menggunakan bahasa dominan. Bagi kelompok bahasa yang
tidak beruntung (tidak dominan), mereka akan memilih meninggalkan hasrat
sosialnya, asimilasi atau penolakan. Bagi kelompok- kelompok bahasa yang lemah
secara angka atau lemah secara psikologi cendrung menuju asimilasi, sedangkan
dalam masyarakat modern yang kuat secara angka yang memiliki nilai budaya yang
sama seperti sejarah dan kebudayaan mereka, lebih suka bertahan secara politik.
Jenis konflik seperti ini akan menonjol ketika terjadi antara kelompok-kelompok
penduduk yang berbeda struktur sosial ekonominya seperti desa/kota,
miskin/kaya, pribumi/ pendatang, dan kelompok bahasa yang dominan mengharuskan
kelompok lain menggunakan bahasanya.
Seperti dalam
kasus orang Kanada hampir 80 % mayoritas penduduknya berbahasa Prancis,
kemudian bahasa Inggris muncul menjadi alat komunikasi yang sangat penting
dalam perdagangan dan bisnis, bahkan mendominasi pada elit-elit tertentu,
malahan menjadi kekuatan politis dan bisnis, sehingga mendorong orang kanada
mempergunakan bahasanya. Hal ini yang menyebabkan timbulnya Konflik bahasa.
Bahkan dalam
kontak linguistik, setelah terjadinya konflik yang dapat melahirkan kedwibahasaan,
pada akhirnya secara umum menuju kepada konflik sosial yang bisa timbul dalam
situasi berbagai bahasa. Dikemukakan sebagian ahli, bahwa tidak ada kontak atau
konflik yang terjadi antara bahasa-bahasa, yang mungkin ada hanya konflik antara
orang yang menggunakan bahasa tersebut. Oksaar (1980) mengemukakan bahwa
kedwibahasaan yang disebabkan oleh konflik bahasa sebagai konflik antara bahasa
yang digunakan oleh suatu individu atau sebagai konflik dari alat-alat bahasa.
Pertarungan
(Konflik) bahasa bisa terjadi apabila adanya kontak bahasa, terutama pada
penduduk yang memiliki multibahasa, walaupun Mattheier (1984:2000) juga
mendemonstrasikan konflik bahasa dalam satu bahasa lokal penduduk. Konflik
bahasa bangkit dari konfrontasi norma-norma yang berbeda, nilai-nilai dan
struktur sikap dan kepribadian yang kuat, asuhan, pendidikan dan kesadaran
kelompok. Jadi konflik bisa dilihat sebagai suatu bentuk dari kontak atau akhir
dari sebuah model yang melengkapi model kontak bahasa.
Kontak ahli bahasa
mempunyai salah alat yang menggambarkan penelitian konflik sebagai suatu bagian
kesatuan dari penelitian kontak bahasa. (Nelde, 1983) atau pemberlakuan topik
spesial dari perspektif konflik. Metode-metode yang digunakan adalah
berbeda-beda dan datang dari banyak disiplin ilmu yang berdekatan
(psikolinguistik dan sosiolinguistik, riset komunikasi, sosiologi dan
lain-lain) Untuk mendukung metode itu sendiri, peneliti menggunakan prosedur
empiris. Sepanjang wawancara dan teknik poling, informan memiliki hak yang
istimewa dan sampling yang representatif, hipotesa dan tempat penelitian,
kemudian mengkombinasikan model investigasi, seperti sosioprofil dan
etnoprofil.
Adanya kontak
bahasa dengan situasi kontak yang berbeda, dapat menimbulkan sebuah konflik
(perseteruan) bahasa, walaupun terkadang penyebabnya remeh dan sepele. Seiring
dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu sebagai prinsip-prinsip dasar
terjadinya konflik bahasa diantaranya:
1. Kontak bahasa yang
menimbulkan konflik bahasa, sebenarnya antara si penutur bahasa dengan
komunitas (masyarakat) bahasanya itu sendiri, bukan antara bahasa, hal ini
menjadi perbandingan antara bahasa pada konteks yang berbeda dalam
penggunaannya.
2. Neldes
mengemukakan bahwa, justru tidak akan ada kontak bahasa tanpa adanya konflik
bahasa, kemudian K.De Bot juga mengemukakan pada presentasinya di Gottingen
bahwa, Konflik bahasa itu muncul secara luas dan lebar dengan adanya
keterlibatan kontak dan situasi berbahasa, bahkan ada bahasa Eropa yang pada
saat itu kontak situasinya tidak bisa di imajinasikan dan di gambarkan dalam
konflik bahasa.
3. Kontak bahasa ini
melihat bahwa bahasa adalah tanda sekunder yang signifikan sebagai penyebab
konflik dasar sosial ekonomi, politik, sejarah dan agama, sehingga dalam
konflik bahasa tersebut kesalahan nampaknya berkurang, karena ternyata lebih
mudah diperbaiki dan dinetralisir dari konflik sosial politik primer.
4. Konflik bahasa itu
tidak boleh dicela sebagai akibat negatif saja, justru lebih membuktikan adanya
struktur- struktur baru yang lebih menguntungkan sebelumnya, terutama untuk
sipenutur minoritas, yang mendapatkan hasil dari konflik tersebut.
H. Faktor-Faktor
Penyebab Terjadinya Pertarungan (Konflik) Bahasa
Pembicaraan
tentang hubungan satu bahasa dengan bahasa lainnya atau hubungannya dengan
komunitas (masyarakat) bahasa, dimana mereka hidup disana, terkadang terjadi
adanya gesekan dan pertikaian yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status
dan kondisi-kondisi tertentu.
Faktor-faktor penyebab
terjadinya Pertarungan (konflik) bahasa diantaranya adalah:
1. Masuknya
unsur-unsur asing pada suatu negara.
Hal ini terjadi akibat dari
pengaruh penaklukkan penjajahan, peperangan dan hijrah (perpindahan). Ketika
pada suatu negara masuk unsur asing dimana mereka berkomunikasi (berbicara)
bukan dengan bahasa penduduknya, maka terjadilah asimilasi dua bahasa yang
mengantarkan pada suatu konflik bahasa, kadang- kadang salah satu bahasa
menguasai bahasa yang lain. Faktor ini terdiri dari beberapa kondisi:
a. Dominasi salah
satu bahasa mengalahkan bahasa yang lain, kemudian mayoritas penduduk yang asli
atau pendatang menggunakan salah satu bahasa yang ada. Hal ini disebabkan oleh:
Kondisi pertama, yaitu lemahnya kebudayaan dan peradaban
kelompok pendatang, sementara jumlah penduduk, kebudayaan dan peradaban
penduduk lainnya semakin bertambah, meningkat dan kuat. Hal ini terjadi karena
adanya konflik dua bahasa dari satu bahasa penduduk atau dua penduduk yang
berdekatan, seperti ketika orang Inggris masuk ke daerah Eropa Tengah. Mereka
bertutur tidak menggunakan bahas aslinya, akan tetapi menggunakan salah satu
bahasa penduduk yang dianggap kuat pada waktu itu. Penduduk Bulgaria yang
memasuki daerah Balkan, mereka mempergunakan bahasa Slaves yang merupakan
bahasa asli Balkan, dan tidak menggunakan bahasa Finois (Bahasa asli penduduk
Bulgaria).
Kondisi kedua, kebudayaan, peradaban bahasa dan sastra bangsa
penakluk lebih kuat dari bangsa yang ditaklukkan. Terjadinya asimilasi antara
bangsa penakluk dengan bahasa bangsa yang ditaklukkan, yang merupakan akibat
dari asimilasi ini. Bahasa bangsa yang ditaklukkan seakan-akan hilang karena
dominasi penggunaan bahasa bangsa yang menaklukkannya. Mereka menggunakan salah
satu bahasa yang mendominasi bahasa lain.
Seperti penggunaan bahasa Arab
disebahagian wilayah Asia Afrika dan Jazirah Arab, diantaranya Mesir di Qibti,
Barbar, Mesir, Yaman dan Sudan sebagai bahasa resmi negara baik lisan ataupun
tulisan, karena wilayah-wilayah tersebut dibawah penaklukam Negeri Arab.
Konflik itu diawali dengan
pengaruh bahasa yang menang terhadap bahasa yang kalah, dilihat dari kondisi- kondisi
yang berbeda waktu itu.
b. Salah satu bahasa
tidak dapat menguasai bahasa lainnya karena lebih unggul dan lebih kuat dari
segi kuantitas penduduk yang menjadi penutur bahasa itu, kebudayaan, sosial,
politik dan ekonomi.
Contoh: bahasa Latin kalah
dengan bahasa Igriq (Yunani) karena bahasa Igriq di Romawi lebih kuat dan lebih
unggul dari segi jumlah penuturnya dan lain-lain. Begitu juga ketika orang
Persia menggunakan bahasa Arab di negerinya bukan dengan bahasa penduduk
aslinya, karena bahasa Arab lebih kuat dan lebih unggul disana.
2. Dua bangsa yang
bertetangga dengan bahasa yang berbeda.
Dua bangsa yang bertetangga
dengan dua bahasa yang berbeda berpeluang besar menimbulkan konflik bahasa,
kadang-kadang satu bahasa mendominasi bahasa lainnya kemudian dipergunakan di
daerah tersebut dan menjadi bahasa bersama (mustarikah) antara dua bangsa tersebut dan terkadang juga mempertahankan bahasanya
masing-masing. Ada beberapa kondisi tentang hal itu;
a. kekalahan satu bahasa dengan
bahasa lainnya (adanya kelompok mayoritas dan minoritas bahasa). Ketika dua
bangsa dengan dua bahasa berbeda tinggal berdekatan, berasimilasi dan melakukan
kontak bahasa, masing-masing memberikan pengaruh kuat dalam mengembangkan
budaya dan bahasanya. Mereka berbahasa dengan bahasa yang lebih kuat dan
unggul, dan mempergunakannya didaerah tersebut. Seperti bahasa perancis
mengalahkan dialek-dialek bahasa Wallonik, salah satu dialek bahasa neerlandies
(bahasa Belanda), hanya 20% penduduk di wilayah tersebut menggunakan
dialek/bahasa itu.
b. Dua bangsa dengan dua
bahasa yang berbeda, terjadi asimilasi dan masing-masing mereka mempertahankan
dan menggunakan bahasanya masing-masing.
3. Adanya Akulturasi beberapa
bahasa, mereka berbicara bukan dengan bahasa aslinya. Faktor ini terdiri dari:
a. Asimilasi (percampuran) dua
bangsa atau beberapa bangsa dengan bahasa yang berbeda dalam sebuah pertikaian
panjang, seperti antara bahasa Jerman, Perancis, dan bahasa Inggris.
b. Kekuatan hubungan
perdagangan diantara dua bangsa dengan bahasa yang berbeda, mereka saling
mempertahankan bahasanya.
c. Kekuatan hubungan
kebudayaan diantara dua bangsa dengan bahasa yang berbeda, masing-masing
keduanya memberikan pengaruh besar terhadap penggunaan bahasanya. Seperti
Bahasa Arab pada masa daulah abasiyah menjadi bahasa resmi negara, bahasa
Ilmiah, sastra dan bahasa media. Banyak diantara buku- buku yang berbahasa
Persia dan Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Arab, atau sebaliknya.
I. Perkembangan dan
Penyebaran Bahasa
Bahasa merupakan
realitas sosial yang hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan manusia.
Bahasa dari sudut pertumbuhan dan perkembangannya tidak berbeda dengan
pertumbuhan dan perkembangan manusia, sebagaimana gejala dan fenomena sosial
lainnya, ia lahir, tumbuh, dan bahkan mati, karena pengaruh lingkungan tempat
ia berdiri.
Bahasa dengan
sifatnya yang dinamis-progresif, selanjutnya berinteraksi secara terus menerus
dan bersifat simbiosis mutualisme dengan masyarakat selaras dengan
perkembangannya, ada beberapa faktor yang bersentuhan langsung dengan bahasa
antara lain:
1. Faktor Sosial
Menurut pandangan
para sosiolog, faktor inilah yang dianggap paling penting dan paling
berpengaruh pada kehidupan bahasa, berpindahnya sekelompok masyarakat dari satu
tempat ke tempat lainnya dan bercampur-baurnya pendatang baru dengan penduduk
pribumi setempat, secara tidak sadar dapat menciptakan bentuk baru bagi
interaksi kebahasaan, kita tahu bahwa hijrahnya berbagai kabilah Arab ke
wilayah Syam, Irak, Mesir dan Maroko setelah tersebarnya Islam keberbagai
daerah merupakan peristiwa yang amat penting dalam sejarah bahasa Arab.
Hijrah tersebut memberi
pengaruh besar bagi perkembangan bahasa Arab, yang semula agak terpinggirkan,
sekarang tersebar ke semenanjung Arabia. Sulit dipungkiri bahwa dalam sebuah
masyarakat pasti terdapat berbagai golongan dan tingkat strata sosial tertentu,
tingkat elit akan mempengaruhi tingkat yang lebih rendah dalam penguasaan
bahasa.
2. Faktor Kebudayaan
Bagi kalangan
antropolog, faktor kultur ini tergolong amat efektif dalam pengembangan sebuah
bahasa. Salah satu bukti nyata tentang masalah ini adalah bahasa inggris.
Karena nilai ilmiah karya tulis dari berbagai disiplin ilmu banyak ditulis
dengan bahasa Inggris.
Bahasa Arab oleh
orang Eropa dan Amerika Serikat, juga sudah lama mereka dipelajari, baik dalam
rangka spesialisasi ilmu maupun untuk kepentingan hubungan Internasional
(bahasa sebagai alat komunikasi) atau untuk kepentingan lainnya. Dalam beberapa
dekade terakhir ini, bahasa Arab memperoleh perhatian khusus dari seluruh
Negara non-Arab di dunia. Perhatian ini tampak jauh jauh lebih besar dari pada
beberapa dekade sebelumnya. Bahkan bahasa Arab menjadi salah satu bahasa resmi
yang digunakan dalam forum internasional, semisal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jika bahasa Arab dapat menunjukkan keberhasilannya yang menunjang sains dan
teknologi, serta peradabannya, bahasa Arab niscaya dapat mencapai tingkat yang
lebih tinggi dan dapat berperan penting dalam peningkatan citra diri di forum
internasional.
Tersebarnya konsep
dan kerangka pemikiran baru, serta penemuan teknologi modern telah mendorong
perlunya penambahan khasanah dan perbendaharaan kata melalui penyerapan istilah
bahasa. Cara yang lazim ditempuh adalah meminjam atau menyerap istilah dari
bahasa lain, baik bahasa daerah maupun bahasa asing dengan membentuk kata-kata
baru dari unsur-unsur yang sudah ada dalam bahasa aslinya. Peminjaman atau
penyerapan kosa kata baru dari bahasa daerah atau asing sedikit banyak
memunculkan persoalan baru, yakni perubahan dalam sistem bunyi, ejaan dan
semantik.
Perubahan semantik
terjadi ketika suatu kata mengalami perubahan, perluasan arti (generalisasi/ta’mim al-dilalah), penyempitan (spesialisasi/takhshish al-dilalah), peningkatan (ameliorasi/irtiqa al-dilalah), dan penurunan arti (peyorasi/inhithath al-dilalah). Salah satu contoh proses perluasan makna atau
generalisasi adalah al-wardah yang sebelumnya hanya berarti “mawar”, sekarang
digunakan untuk arti “bunga” (bunga dalam arti umum, semua jenis bunga).
3. Faktor Agama
Faktor agamalah
yang menyebabkan bahasa Ibrani masih bisa bertahan sebagai bahasa yang dibaca
dan dipelajari lebih dari 20 abad, meskipun semata-mata dalam konteks
religiusitas, bangsa Yahudi mempelajari bahasa Ibrani pada batasan-batasan
tertentu, karena bahasa tersebut digunakan dalam perjanjian lama, hal ini
berbeda dengan bahasa Arab, karena selain sebagai bahasa ritual / tujuan
ibadah, juga menjadi bahasa pemersatu umat Islam, bukankah bahasa Arab dipakai
dalam alqur’an sebagai kitab suci umat Islam.
4. Faktor Politik
Kekuatan politik
suatu negara akan dapat menentukan kekuatan bahasanya. Fakta mengatakan bahwa
sebagian negeri di benua Afrika yang berbahasa Perancis, sedangkan yang lainnya
berbahasa Inggris, mencerminkan adanya pengaruh kekuatan politik yang sangat
besar bagi kekuatan dua negeri penjajah, Inggris dan Perancis, begitu juga
bahasa Belanda yang sangat berpengaruh terhadap hukum positif yang sampai saat
ini masih diberlakukan di Indonesia. Padahal negeri yang disebut dengan negeri
nusantara ini mayaoritas penduduknya adalah muslim, yang tentu saja sudah
sewajarnya memahami bahasa Arab sebagai salah satu bahasa komunikasi.
Beberapa bahasa
manusia berbeda, tersebar di berbagai wilayah yang berbeda, perkembangan
wilayah yang semakin luas dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, maka
semakin mendorong tersebarnya keanekaragam bahasa. Seperti yang terjadi pada
bahasa Latin dan bahasa Arab pada periode klasik dan pertengahan, dan bahasa
Inggris, bahasa Spanyol, bahasa Perancis, bahasa Jerman dan bahasa Turki pada
periode Modern, dan sebagainya.
J. Faktor penyebab
terjadinya Keragaman Bahasa
Beberapa faktor penyebab
penyebaran bahasa dan terjadinya keanekaragaman bahasa diantaranya:
1. Asimilasi
(percampuran) bahasa yang disertai dengan adanya pertarungan (konflik) antara
satu bahasa dengan bahasa lainnya, bahasa itu tersebar dan berkembang ketika
masuk penutur bahasa baru dari sekelompok penduduk yang pindah. Seperti
tersebarnya bahasa latin pada periode modern ini yang mengalahkan bahasa-
bahasa asli Italia, Spanyol, dan negeri Le Gaule (Persia dan sekitarnya),
Illyrie yang menjadi bahasa komunikasi dan tulisan di belahan barat eropa. Dan
begitu juga yang terjadi pada bahasa Arab, ketika mengalahkan mayoritas bahasa
syamiyah (Semit), Qibti dan Barbar sampai sekarang mencapai 50 juta jumlah
penuturnya. Begitu juga dengan bahasa Jerman yang tersebar dan berkembang di
Eropa tengah (Slovakia, Bolonia dsb) yang mencapai 90 juta jumlah penutur dari
penduduk Eropa, dan sebagainya.
2. Adanya perpindahan
penduduk (Imigrasi) dari sejumlah yang dekat atau yang jauh, melahirkan
penyebaran dan keanekaragaman bahasa. Seperti Bahasa Inggris diamerika selatan,
Australia, Nedzerland dan sebagian besar daerah afrika.
3. Adanya kesepakatan
dalam menentukan sebuah ungkapan Bahasa.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pemaparan dan rumusan masalah
yang telah dijawab dalam pembahasan ini, maka disebutkan beberapa kesimpulan di
bawah ini:
1.
Dialektologi
sebagai ilmu yang memepelajari suatu
dialek saja dari suatu bahasa dan dapat pula mempelajari dialek-dialek yang ada
dalam suatu bahasa.
2.
Sesuai dengan objek kajiannya yang berupa perbedaan
unsur-unsur kebahasaan karena faktor spasial (geografis), maka peta bahasa
dalam dialektologi, khususnya dialek geografis memiliki peran yang cukup
penting.
3.
Pertarungan (Konflik) Bahasa sebagai kompetisi yang
meliputi pertentangan-pertentangan yang nyata antara dua atau beberapa bahasa
pada kelompok etnis bangsa tertentu, dengan mempunyai tujuan yang berbeda dalam
mempertahankan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai tanpa adanya sifat
netral, masing-masing kelompok etnis itu saling membela dan memberikan
perhatian terhadap prestasi, jabatan dan kekuatan kebijakannya.
B.
Saran
Berdasarkan hasil penemuan yang telah diuraikan panjang lebar di atas, maka ada
beberapa hal yang perlu direkomendasikan pada berbagai pihak, di antaranya
adalah:
- Bagi Mahasiswa sebaiknya
lebih mendalami ilmu lingusitik, karena masa depan bahasa ada dalam ilmu
ini. Bisa juga dengan mendokumentasikan dialek yang di Nusantara agar
tidak punah karena terjadinya konflik bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Acep Hermawan. Metodelogi Pembelajaran Bahasa Arab. Remaja Rosda Karya. Bandung. 2011.
Ali Abdul Wahid Wafi. Al-lughah wa-almujtama’. Darunnahdhah. Mesir.1971.
Florian Coulmest, The Handbook of Sosiolinguistik, Blackwell publishers,
oxford, 2000
Grijns. 1991. Kajian Bahasa Melayu Betawi. Pustaka
Utama Jakarta
Janet Holmes. 1992.
An Introduction to Sociolinguistics. Longman London New York
Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis. Gadjah Mada
University Press
Soepomo P. 2001. Filsafat Bahasa. Muhammadiyah
University Press Surakarta
Soemarsono dan Paina. 2004. Sosiolinguistik.
Sabda Yogyakarta
Shabri Ibrahim Al-Sayyidi. Ilmu Al-Lughah Al-Ijtimai’.
Darul Ma’ruf Al- Jami’ah. Iskandariyah
1999.
EmoticonEmoticon