Dosen Pengampu : Dr. Moh. Asror Yusuf, M.Ag
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Nama : Puguh Ari Wicaksono
NIM : 923.005.18.010
FALFISIFIKASI DALAM PENDIDIKAN BAHASA ARAB
Falsifikasi adalah suatu paham atau pemikiran yang berpendapat bahwa setiap teori yang dikemukakan manusia tidak akan seluruhnya sesuai dengan hasil observasi atau percobaan. Dengan kata lain menurut pandangan falsifikasionisme, ilmu dipandang sebagai satu set hipotesa yang bersifat tentatif untuk menggambarkan atau menghitung tingkah laku suatu aspek dunia atau universe. Jadi bagi mereka tidak ada suatu ilmu yang dibuat manusia bisa seratus persen sama apabila dikonfrontasi dengan hasil pengamatan dari kenyataan yang ada.
Menurut teori falsifikasi, ada teori yang dapat dibuktikan salah berdasarkan hasil observasi dan eksperimen. Ilmu pengetahuan tidak lain dari rangkaian hipotesis-hipotesis yang dikemukakan secara tentatif untuk menjelaskan tingkah laku manusia atau kenyataan dalam alam semesta. Tetapi tidak setiap hipotesis dapat begitu saja diklasifikasikan di bawah ilmu pengetahuan. Hipotesis yang layak disebut sebagai teori atau hukum ilmiah harus memenuhi syarat fundamental berikut: hipotesis itu harus terbuka terhadap kemungkinan falsifikasi.
Contoh:
1. Tidak pernah turun hujan pada hari-hari Rabu
2. Semua substansi akan memuai jika dipanaskan
Pernyataan (1) dapat difalsifikasikan karena dengan suatu observasi kita dapat menunjukkan bahwa pada hari Rabu terntentu ada hujan. Pernyataan (2) pun dapat difalsifikasi karena melalui observasi kita dapat memperlihatkan bahwa ada substansi tertentu tidak memuai jika dipanaskan.
Pernyataan berikut ini tidak memenuhi syarat yang dikemukakan oleh Popper dan konsekuensinya tidak dapat difalsifikasikan:
1. Baik pada hari hujan maupun tidak hujan saya datang
Tidak ada suatu pernyataan observasi yang secara logis dapat menyangkal pernyataan (1). Pernyataan ini benar, bagaimanapun keadaan cuaca. Pernyataan di atas ini tidak dapat difalsifikasikan, sebab semua kemungkinan yang akan terjadi atau diturunkan dari pernyataan di atas, tetap benar.
Falsifikasi merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak gagasan dari lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan penolakan Popper ini, karena dalam rangkah membedakan ilmu yang bermakna dan tidak bermakna masih menjunjung tinggi induksi. Beberapa kritik yang dikemukakan Popper terhadap prinsip verifikasi.
Pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Menurut Popper, hukum-hukum umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum tidak bermakna, sama seperti metafisika).
Kedua, sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan juga lahir dari pandangan-pandangan metafisis. Karena itu Popper menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah setelah diuji.
Ketiga, untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih dulu harus kita mengerti ucapan atau teori itu. Solusi yang diberikan oleh Popper terhadap problem induksi ternyata mengarahkan perhatiannya secara lebih serius kepada problem demarkasi, atau problem batas antara pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan yang bukan ilmiah. Untuk itu pada bagain ini, penulis terlebih dahulu mengangkat problem demarkasi ini sebagai titik tolak dari falsifikasi Popper.
Metode falsifikasi sederhana saja dengan observasi terhadap angsa-angsa putih, betapapun besar jumlahnya, orang tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali observasi terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal pendapat tadi.” Jadi, dengan pembuktian seperti itulah sebuah hukum ilmiah berlaku. Bahwa bukan apakah suatu hukum ilmiah dapat dibenarkan melainkan dapat dibuktikan salah.
Dalam hal ini, akan dikemukakan bagaimana seorang memperoleh pengetahuan dan selanjutnya pengetahauan tersebut dapat diputuskan ilmiah atau tidak ilmiah, atau bagian dari true science atau bagian dari pseudoscinces. Menurut Popper, manusia dalam memperoleh pengetahuan berdasarkan rasio yang ia miliki. Pandangan ini sesuai dengan pandangan kaum rasionalis yang mengakui bahwa ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu yang diakui benar oleh manusia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan pengalaman, bahkan apa yang dialami dalam pengalaman emprisis bergantung pada prinsip-prinsip ini.
Ilmu bahasa semakin berkembang. Kini kita hidup di jaman linguistik modern. Jika dahulu para pakar bahasa mendeskripsikan suatu kiblatnya adalah tata bahasa Yunani Latin, kini tidak lagi. Jika kita mempelajari suatu bahasa, maka sistem bahasa itulah yang dipelajarinya secara langsung. Dengan kata lain para pakar bahasa atau linguis mendeskripsikan sistem yang adapada bahasa yang bersangkutan. Itulah yang membedakan linguis dengan tata bahasawan tradisional.
Berdasarkan kenyataan itulah, hasil linguis berlainan dengan hasil karya tata bahasawan tradisonal. Dalam tata bahasa tradisonal, kelas kata diperlakukan begitu istimewa, sebagai inti tata bahasa. Dalam linguistik modern, klasifikasi atau kategori kata hanyalah sebagai salah satu aspek tata bahasa, sejajar dengan aspek-aspek lainnya yang harus mendapatkan perlakuan yang seimbang jika akan mendeskripsikan tata bahasa secara memadai.
Kondisi ideal pendidikan bahasa Arab itu sangat berhubungan dengan tujuan pendidikan. Tujuan pendiidikan ini dibedakan dalam dua katagori, yakni tujuan umum pendidikan atau juga sering dikenal dengan istilah tujuan akhir pendidikan dan tujuan khusus pendidikan.
Tujuan akhir pendidikan tertuju pada tujuan hidup. Sedangkan tujuan khusus pendidikan dapat dibedakan dalam 3 wilayah, yaitu pertama, tujuan pendidikan tak lengkap, dimana tujuan ini berkenaan pada aspek-aspek kepribadian yang ingin dicapai. Baik itu dalam tujuan pendidikan jasmani, kognitif dan ketrampilan. Kedua, tujuan pendidikan sementara, berkenaan dengan masa–masa pendidikan institusional, terkait tujuan kelembagaan pendidikan. Yakni tujuan pendidikan balita, kanak-kanak, anak sekolah, remaja, dan tujuan pendidikan orang dewasa. Ketiga, tujuan pendidikan institusional, tujuan ini berkenaan dengan penguasaan materi pelajaran atau tingkah laku. Yakni; tujuan pendidikan nasional, sekolah dan satuan pendidikan luar sekolah. Adapun tujuan instruktusional dibedakan menjadi tujuan kurikuler dan tujuan incidental (yang didapat dalam setiap kegiatan pendidikan) .
Melihat tujuan-tujuan pendidikan tersebut, maka penulis dalam mengarahkan suatu paradigma ideal pendidikan bahasa Arab tidak memasuki semua wilayah tujuan pendidikan baik umum maupun khusus secara menyeluruh. Melainkan harus memilih pada salah satu katagori tujuan yang relevan, yakni dalam mencapai tujuan sementara, yang mana tujuan ini yang berkenaan dengan tujuan kelembagaan pendidikan. Juga sangat erat kaitannya dalam konteks PBA di Indonesia pada era sekarang.
Efesiensinya, tujuan pendidikan ini didukung pada proses atau serangkaian kegiatan pendidikan yang tertuju untuk mengembangkan satu jenis aspek kepribadian tertentu. Sebagaimana taksonomi Bloom dalam tujuan pendidikan, maka pendidikan bahasa Arab juga dapat teraplikatif sebagaimana taksonomi tujuan pendidikan Bloom. Bloom membedakan dalam tiga macam.
Pertama, pendidikan kognitif, yang bertujuan mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual dalam mengenal lingkungan. Dalam hal ini praktisnya dalam ranah pengetahuan/ingatan/hafalan/pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi.
Kedua, pendidikan afektif (yang sering juga disebut dengan pendidikan humanistic, atau pendidikan pemanduan dan pendidikan psikologikal), yang bertujuan mengembangkan kemampuan menghayati nilai-nilai untuk mengenali kegunaannya bagi hidup terhadap apa yang telah dipelajari secara langsung maupun tak langsung. Dalam hal ini praktisnya adalah; penerimaan terhadap lingkungan, respon terhadap partisipasi lingkungan, internalisasi nilai-nilai, pengorganisasian nilai-nilai dan mengarakterisasi nilai-niai.
Ketiga, pendidikan ketrampilan, yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan melakukan perbuatan-perbuatan secara tepat sehingga menghasilkan kinerja yang standart. Praktisnya terdapat pada pendidikan ketrampilan dasar, pendidikan kejuruan, pendidikan professional,
Epistemologi secara umum mengakui paling tidak empat sumber pengetahuan, yaitu: 1) pengakuan intuitif, 2) pengetahuan otoritatif, 3) pengetahuan logis, 4) pengetahuan empiris. Pengetahuan intuitif berasal /diperoleh dari keyakinan, keimanan, intuisi, wahyu, ilham, dan sebagainya. Pengetahuan otoritatif didasarkan pada informasi yang diperoleh dari orang, buku, penguasa, dan sebagainya yang memiliki otoritas atau kekuasaan tertentu. Sabda Nabi, titah raja atau pengusa, amanat presiden, dan sebagainya dianggap sebagai sebuah kebenaran. Sementara itu, pengetahuan logis adalah pengetahuan yang didasarkan pada penalaran yang rasional, sesuai dengan logika berpikir yang benar. Adapun pengetahuan empiris adalah pengetahuan yang di dasarkan pada fakta, pengalaman nyata dan realitas yang dapat diobservasi dan dieksperimentasi serta diverifikasi kebenarannya secara obyektif. Dengan kata lain, sumber ilmu secara umum adalah akal (rasio), pengalaman (realitas), wahyu (agama), dan intuisi (suara hati nurani, ilham).
Teoritisasi ilmu-ilmu bahasa Arab, khusus nahwu, didasarkan pada beberapa prinsip metodologis yang khas. Menurut Tammam Hassan, setidaknya ada tiga prinsip metodologis (prosedur kerja ilmiah pembentukan kaedah-kaaedah nahwu), yaitu: al-sama’, al-istishhab, dan al-qiyas. Dalam konteks nahwu al-asma’ berarti prosedur penelitian atau suatu peristiwa bahasa yang dilakukan oleh para ahli dengaan cara mencaari informasi dari sumber aslinya untuk memastikan otentisitasnya dan baru kemudian dijadikan sebagai landasan teoritis. Sedangkan al-istishhab adalah mempertahankan atau setia pada suatu kaidah kebahasaan yang dirumuskan atau ditetapkan para ahli nahwu berdasarkan al-sama’ pada bentuk aslinya. Adapun al-qiyas adalah menganalogikan suatu kaedah bahasa yang belum ada keputusan kaidahnya kepada bahasa yang telah ada ketetapan kaidahnya. Ketiga prinsip metodologis ini tampaknya terformalisasikan berdasarkan logika natural bangsa Arab, bukan dibangun di atas asumsi-sumsi logika formal. Selain ketiga prinsip metodologis tersebut, al-Suyuthi menambahkan satu lagi, yaitu al-Ijma’ yaitu konsensus di kalangan bangsa Arab dapat dijadikan sebagai hujjah, (dalil, argumentasi,) dalam penetapan kaidah.
Prinsip al-sama’ pada dasarnya terkait erat dengan masalah budaya dari pada sebuah sistem ilmu pengetahuan. Budaya yang dimaksud adalah budaya “otoritas”. Dalam tradisi Islam klasik terdapat kelompok tertentu yang diyakini memiliki otoritas dalam persoalan bahasa sehingga mereka jadikan sebagai rujukan atau bahkan bagi validitas sebuah teori atau pendapatan kaedah bahasa, tentu selain al-Qur’an dan al-Hadits. Kelompok pemegang otoritas ini adalah mesyarakat Arab yang tinggal di pedalaman atau pegunungan (ahl al-badwi atau al-a’rab).
Selain itu, para ulama Arab seperti al-Khalil dalam mengumpulkan bahan-bahan baku data kebahasaan menggunakan apa yang dewasa ini disebut dengan pendekatan kualitatif dengan melakukan observasi langsung dan grounded research (tinggal bersama dengan komunitas Badui dan masyarakat Arab lainnya). Data yang sudah terkumpul diverifikasi, lalu diklasifikasi, kemudian disimpulkan dan di keedahkan (taq’id) dengan menggunakan metode induktif (istiqra’i). Tradisi penelitian semacam ini sudah berkembang sejak akhir abad pertama Hijriyah, dan tidak hanya dilakukan oleh para linguis, tetapi juga oleh fuqaha seperti Imam Syafi’i.. perbedaannya, para linguis melakukan sama’ untuk memperoleh kaidah berbahasa, sedangkan fuqaha meneliti bahasa dalam rangka memaknai teks kitab suci dan hadits Nabi Saw. Untuk memperoleh hokum kesimpulan (istinbat al-ahkam).
Contoh sederhana dari falsifikasi adalah seluruh mahasiswa PBA IAIN Kediri mampu menjadi guru bahasa Arab. Teori atau pendapat ini bisa benar dan bisa juga salah, cara mengetahuinya adalah dengan menguji para mahasiswa untuk menjadi guru, misalnya dengan latihan membuat RPP, silabus, model pembelajaran, dll. Jika mereka mampu menyelesaikan latihan dengan baik maka pendapat di atas bisa dibenarkan, atau sebaliknya jika mereka tidak mampu menyelesaikan latihan maka teori atau pendapat di atas tidak bisa dibenarkan. Inilah yang disebut dengan falsifikasi yaitu antara teori dan kenyataan tidak sama.
Dengan contoh lain sebagai berikut, etika dalam suatu kelas, kelas 8D. Di dalam kelas tersebut ada 23 anak Sebagian besar dari mereka banyak anak yang pintar bahasa Arab. Nah, dari sana kita dapat melihat bahwasanya sebagian besar anak kelas 8D adalah anak yang pintar bahasa Arab. Dari pernyataan umum tersebut dapat difalsifikasikan bahwa ada anak yang kurang menguasai bahasa Arab di kelas 8D. Artinya dari 23 anak di kelas 8D ada anak yang kurang menguasai bahasa Arab. Nah, untuk mengetahui berapa anak yang kurang menguasai bahasa Arab itu dapat dilakukan pencarian bukti dengan melakukan penelitian di kela
EmoticonEmoticon