Wednesday, March 29, 2017

#BeraniLebih Menahan Marah

Pada suatu kesempatan kuliah, ada kata-kata dari tutor yang teramat membekas di kepala dan ini mendorong saya untuk lebih berani pelan-pelan mengubah sikap dan kebiasaan saya dalam mengajar. Tutor saya berkali-kali bilang, “coba cari definisi anak-anak, anak-anak yang masih suka bermain.Pastikkan kalian tahu, jadi nggak marah-marah kalau mengajar.”
Saya tergugah oleh kata-kata beliau. Kurangi marah-marah itu begitu lekat dalam ingatan. Saya harus #beranilebih melakukan perubahan. Ah, memangnya selama ini saya suka marah-marah ketika mengajar? Tidak sih, tetapi saya sering sebal dan terbawa emosi tersebut ketika ada ada anak yang bermalas-malasan di kelas, menyepelekan guru dan tugas , tidak mau mengerjakan PR, dan terlalu banyak mengeluh ketika ada tugas atau ulangan. Ketika mendengar keluhan anak-anak, tak berkenan ulangan atau malas mengerjakan tugas, saya tidak marah, namun pernah berkata begini:
“Silakan yang tidak mau belajar boleh di luar.”
Tentu saja, anak tidak mau melakukannya dan tetap bertahan di dalam kelas, mengerjakan dengan setengah hati. Bagaimanapun, mereka tahu mereka harus tetap belajar. Terinspirasi dari perkataan tutor saya, tidak seharusnya saya berkata seperti itu. Saya harus #beranilebih mengubah kebiasaan berkata seperti itu terhadap anak. Saya harus #beranilebih menekan emosi saya. Saya harus #beranilebih memahami mereka. Saya bisa mengajak anak-anak berdialog, seperti misalnya ketika saya umumkan:
“Anak-anak sekarang ulangan,”
Seorang anak bernama Yoga mengeluh panjang.“Wahhhh….”
Saya tidak boleh serta merta menawarkannnya pilihan untuk keluar kelas karena tidak mau belajar. Bukankah saya punya tugas untuk memberikan motivasi kepada anak?
Saya bisa memulai bertanya kepada anak, “Kenapa Mas Yoga tidak mau ulangan?”
Saya akan mendengarkan alasannya, lalu memberikan imbal balik. Misalnya, “Ulangan itu untuk Mas Yoga sendiri, bukan untuk bu guru, untuk mengetes sebenarnya Mas Yoga sudah paham belum dengan pelajaran yang bu guru berikan. Kalau nanti nilainya jelek, itu artinya Mas Yoga belum paham dan harus lebih giat belajar lagi. Kalau bagus, alhamdulillah, tandanya Mas Yoga sudah paham.”
Dengan membuka ruang dialog, saya tahu kenapa anak mengeluh, apa yang dirasakan anak. Selama tahu akar persoalan, solusi untuk masalah yang dialami akan ditemukan. Berbeda dengan kemarahan, apa yang akan saya dapatkan? Tidak ada, yang ada malah ketakutan dan semakin menurunnya semangat anak untuk belajar. Untuk anak-anak, kemarahan akan memberikan dampak negatif.
Hal yang sama sudah lama saya lakukan di rumah. Mengahadapi putri saya (2 tahun 10 bulan) yang seringkali keras kepala, saya lebih memilih menepi dan diam. Ketika saya merasa ingin marah karena anak melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh ia lakukan dan ia tetap keras kepala melakukannya, saya memilih menjauh. Saya akan diam saja, kebiasaan itu membuat anak saya mengerti, bahwa saya sedang marah dan ada yang salah dengan dirinya. Saya tidak mau anak saya melihat dan mendengar kata-kata kasar keluar dari mulut saya, itu sebabnya saya akan menjauh untuk menetralkan emosi dalam diri saya. Baru kemudian ketika anak sudah tidak merengek dan saya sudah bisa berlapang dada, saya mulai berbicara dengan anak saya.
Bisa menekan emosi dan #beranilebih berlapang dada menghadapi anak-anak membuat saya lebih bahagia dalam mendidik anak-anak dan punya harapan anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan bertanggung jawab.
Facebook: Sayekti Ardiyani
Twitter: @sayektiardiyani


EmoticonEmoticon